Mengenal Ibnul ‘Arobi dan Kitab Tafsirnya
Nama
lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad
al Ma’afirii al Andalusi al Isybili. Ia adalahsalah satu imamnya para ulama
Andalusia yang luas ilmunya, berasal dari madzhab Maliki.[1]Beliau
dilahirkan pada tahun 486 H bertepatan dengan tahun 1076 M, ia belajar di
negrinya sendiri; yaitu Andalusia, dan setelah mempelajari Qira’at, barulah ia
melakukan rihlah ke beberapa negri seperti Mesir, Syam, Baghdad, dan Mekkah.[2]
Ibnul
‘Arobi mempelajari ilmu dari para ulama setiap negri yang disinggahinya, hingga
mantap dalam bidang fikih dan ushul, kuat dalam ilmu hadits, menguasai
perbedaan-perbedaan dan ilmu kalam, dan tentu saja ia juga seorang yang luas
ilmunya dalam bidang tafsir; serta masih banyak lagi cabang ilmu yang
dikuasainya selain yang tersebut.[3]
Dalam
bidang tafsir khususnya, karya monumental beliau adalah sebuah kitab tafsir
yang diberi nama “Ahkam al Qur’an”. Kitab ini adalah salah satu
kitab yang paling penting yang telah disusun oleh penulisnya, bahkan juga
menjadi salah satu kitab tafsir bercorak fiqih (hukum) yang paling penting
dalam madzhab Maliki.[4]
Kitab ini membahas seluruh surah dalam al Quran, namun hanya ayat-ayat yang
berkaitan dengan hukum saja. Ibnul ‘Arabi dalam kitab tafsirnya ini sempat
dikatakan ta’ashub terhadap madzhab Maliki, karena memang beliau sangat
terpengaruh oleh madzhabnya tersebut. Namun, kendati demikian ta’ashubnya
ini tidak sampai ke tingkat yang membawanya kepada kesalahan ilmiah yang
bersumber dari madzhab Maliki.[5]
Dalam kitabnya ini, cara yang ditempuhnya dalam
menafsirkan ayat-ayat hukum adalah dengan menyebutkan pandangan para ulama secara ringkas, lalu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi perselisihan dalam banyak madzhab, ia sendiri kemudian menyebutkan pada setiap tafsir ayat dengan lafadz “al Mas’alah Ula (Masalah yang pertama).. , al Mas’alah ats Tsaani (Masalah yang kedua).. dan seterusnya.[6]
menafsirkan ayat-ayat hukum adalah dengan menyebutkan pandangan para ulama secara ringkas, lalu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi perselisihan dalam banyak madzhab, ia sendiri kemudian menyebutkan pada setiap tafsir ayat dengan lafadz “al Mas’alah Ula (Masalah yang pertama).. , al Mas’alah ats Tsaani (Masalah yang kedua).. dan seterusnya.[6]
Satu
hal lagi, dalam kitab ini ia menafsirkan setiap ayat dengan bersandar kepada
kaidah kebahasaan dalam beristinbath (mengambil kesimpulan) hukum, ia
berlepas diri dari Isra’iliyyat, serta senantiasa berhati-hati dan mengkritik
hadis-hadis yang dla’if. Kitab ini telah dicetak dalam banyak cetakan,
salah satu di antaranya ada yang dicetak
dalam 2 jilid besar dan ada juga yang dicetak dalam 4 jilid.[7]
Selain
kitab Ahkam al Quran, masih ada banyak kitab yang beliau tulis; termasuk
dalam bidang hadis, beberapa di antaranya seperti kitab al ‘Awashim min al
Qawashim, ‘Aridhah al Ahwadzi fii Syarh at Tirmidzi, al Qobas fii Syarh
Muwaththa’ Ibn Anas, an Nasikh wa al Mansukh, Kitab al Mutakallimiin, Qaanun at
Takwil, dan sebagainya.[8]
Beliau
wafat pada tahun 543 H, jenazahnya dibawa ke Madinah dan dimakamkan disana.[9]
Semoga Allah meridhainya.
Mengenal al Qurthubi dan Kitab Tafsirnya
al
Qurthubi memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin
Farh al Anshori al Khazraji al Andalusi, ia adalah seorang yang shaleh, ulama
yang arif, seorang zaahid, dan seorang yang selalu menyibukkan dirinya
dengan hal-hal yang berarti untuk akhirat.[10]
Kitab
Tafsir yang disusunnya diberi nama “al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an”.
Al ‘Allamah Ibn Farhun berkata dalam mensifati kitab ini, “Ini adalah kitab
yang paling mulia dan paling agung dari kitab-kitab tafsir”.[11]
Imam
al Qurthubi dalam kitab ini tidak meringkas ayat-ayat hukum, hanya saja ia
menafsirkan al Quran dengan taba’an (mengikuti), ia menyebutkan sababun
nuzuul, memperlihatkan Qira’at dan I’rab, menjelaskan lafadz-lafadz yang
asing, menyandarkan pendapat-pendapat kepada orang yang mengatakannya,
menerangkan pada mushaf banyak dari kisah-kisah para mufassir,
informasi-informasi dari ahli sejarah, ia juga mengutip dari ulama-ulama
terdahulu yang muwatsiq, yang mereka juga menyusun kitab-kitab hukum,
maka ia juga mengutip dari Ibn Jarir, Ibn ‘Athiyah, Ibnul ‘Arobi, al Kayaa al
Haras, dan Abu Bakar al Jashshash.[12]
Dalam
menafsirkan ayat-ayat hukum, al Qurthubi sangat mencurahkan kemampuannya, ia
menyebutkan perselisihan-persellisihan pendapat, dan juga menyebutkan
argumen-argumennya. Dan yang paling menarik dari al Qurthubi dan kitab
tafsirnya ini adalah obyektifitasnya dalam setiap penafsiran, ia sama sekali
tidak terjebak keta’ashuban (fanatik) terhadap madzhabnya sendiri (Maliki),ia
tidak ragu untuk menguatkan pendapat yang menurutnya lebih tepat dan lebih bisa
dipertanggungjawabkan sekalipun pendapat tersebut datang dari orang yang bukan
dari madzhabnya.[13]
Satu
lagi yang menarik, dalam kitabnya ini ia jugamemberikan bantahan terhadap
pendapat-pendapat yang datang dari kaum Muktazilah, Qadariyyah, Rafidah,
Filsafat, dan Tasawuf. Namun dengan bahasa dan penyampaian yang halus, berbeda
dengan pendahulunya seperti Ibnul ‘Arobi yang terkesan kasar dalam menolak
pendapat orang lain.[14]
beliau
wafat pada bulan syawal 671 H.[15]
Seoga Allah Swt merahmatinya dengan rahmat yang luas.
Tafsir QS. An Nuur, 4-5: Antara Ibnul ‘Arobi
dan al Qurthubi
A. Teks
Ayat
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ. إِلَّا الَّذِينَ
تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang
yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nur: 4-5)
B. Penafsiran
Ibnul ‘Arobi dan al Qurthubi
Dalam
menafsirkan dua ayat ini, Ibnul ‘Arobi mengklasifikasikannya ke dalam 16
permasalahan;[16]
sedangkan al Qurthubi menggolongkannya ke dalam 26 permasalahan[17].Dalam
16 permasalahan tersebut, Ibnul ‘Arobi membahas hampir semua lafadz dalam dua
ayat di atas secara khusus dalam setiap permasalahan, sedang al Qurthubi hanya
membahas beberapa di antaranya.
1. Penafsiran
Kalimat bqãBöttûïÏ%©!$#ur
Ibnu ‘Arobi menjelaskan
bahwa kalimat “yarmuuna” diambil dari kalimat “ar Ramyu”,
maknanya adalah يريد
يشتمون yang
artinya bermaksud mencaci. Kemudian ia mengutip sebuah hadits dari Ibn Abbas sebagai
berikut:
ان هلال
بن امية قذف امرأته بشريك بن سحماء.
Sesunggunya Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina
dengan Syarik bin Sahma.
Kemudian Ibn ‘Arobi mengutip perkataan Abu
Kabsyahو جرح
اللسان كجرح اليد.[18]Sedang al Qurthubi menjelaskan
makna arramyu dengan يريد يسبون yang
artinya sama, yakni bermaksud mencaci, dan kemudian disebut dengan
al Qadzfu berdasarkan hadisdari Ibn Abbas yang juga dikutip oleh Ibnul ‘Arobi.[19]Dalam menafsirkan
kalimat ini, Ibnul ‘Arobi dan al Qurthubi tidak jauh berbeda, mengingat pendapat
Ibnul ‘Arobilah yang dikutipolehal Qurthubi dalam menafsirkan kalimat ini.
2. Penafsiran
Kalimat M»oY|ÁósßJø9$أ
Menurut
Ibnul ‘Arobi, yang dimaksud dengan kalimat al Muhshan disini adalah sebagaimana
dalam surah an nisa, yakni dimutlakkan kepada seorang Muslim yang merdeka dan suci,
dan kendati lafadznya muannats namun padanya berlaku qiyas, bahwa
ayat ini berlaku juga untuk laki-laki.[20]
Sejalan dengan Ibnul ‘Arobi, al Qurthubi pun menjelaskan bahwa kalimat al Muhshanat
di sana, sekalipun bentuknya muannats, namun berlaku umum
untuk laki-laki maupun perempuan. Jadi sama saja, baik laki-laki ataupun
seorang perempuan yang terkena tuduhan, seperti pada ayatوالذي أحصنت فرجها, yakni
berlaku umum, baik farji (kemaluan) laki-laki ataupun perempuan.[21]
3. Syarat al Qadzfu (tuduhan)
Mengenai syarat al Qadzfu (tuduhan),
baik Ibul ‘Arobi ataupun al Qurthubi sama-sama menyebutkan bahwa ada sembilan
syarat yang harus terpenuhi agar al Qadzfu itu bisa dianggap syah, 2
syarat pada al Qadzif (penuduh); yakni berakal dan baligh, 2 syarat pada
tuduhan itu sendiri; yakni tuduhan itu haruslah merupakan tuduhan yang
mengharuskan adanya had, yakni zina dan liwat (homoseksual), serta
adanya penyangkalan terhadap tuduhan tersebut, jadi tidak semua maksiat masuk
dalam al Qadzfu, dan 5 syarat pada al Maqdzuf (yang dituduh);
yakni berakal, baligh, Islam, merdeka, serta menjauhkan diri dari perbuatan
keji yang dituduhkan.[22]
Keduanya juga sama menyebutkan bahwa para
ulama telah sepakat jika memang benar berzina maka itu masuk kepada al
Qadzfu dan dosa yang wajib atasnya had. Keduanya juga sama-sama mengutip
QS. Hud: 87, QS. Ad Dukhon: 49, namun al Qurthubi menambah dengan mengutip QS.
Maryam: 28 dan QS. An Nisa: 156, serta QS. .[23]
4. Hukum Perkataan “Wahai Orang yang Duduk Di Antara Dua
Paha!” .
Ibnul ‘Arobi mengutip pendapat Ibn al
Qaasim bahwa bagi yang mengatakannya dikenai had, karena hal itu termasukta’ridh
(ganti rugi atas pencemaran nama baik), ia
juga mengutip perkataan Asyhab yang mengatakan, “tidak ada had di dalamnya,
karena ayat ini nisbatnya kepada perbuatan, zina tidak dihitung berdasarkan
ijma’”. Diakhir ia kembali mengutip Ibn al Qaasim yang berkata, “Yang paling
benar adalah dari segi ta’ridnya.”[24]
Sedangkan al Qurthubi, kendati sama
mengutip pendapat dua ulama di atas, namun ia tidak mentarjih mana pendapat
yang lebih kuat.[25]
5. Tuduhan Zina kepada Anak yang Belum Baligh.
Ibnul ‘Arobi mengatakan, termasuk Qadzf
menurut Malik, bukan Qadzf menurut Hanafi; karena hal itu bukan
zina. Namun, beliau mentarjihkan pendapat Malik dengan alasan menjaga nama baik
al Maqdzuf, dan dikenai had bagi al Qaadzif karena telah
mencemarkan nama baik dengan lisannya.[26] Sejalan dengan
Ibnul ‘Arobi, al Qurthubi pun mengutip pendapat-pendapat yang dikutip oleh
Ibnul ‘Arobi, namun ditambah lagi dengan pendapat-pendapat dari ulama lainnya.
Masalah ini dibahas lebih panjang lebar
lagi, namun dengan tidak memilih atau mentarjih pendapat yang lebih kuat.[27]
6. Penjelasan kalimat Ïuä!#ypkà§(pyèt/ör'Î/#qè?ù'tóOs9NèO
Syarat
persaksian itu adalah berada dalam satu majlis, tidak terpisah-pisah, demikian
pendapat Ibnul ‘Arobi.[28] Demikian juga
menurut al Qurthubi, mengutip pendapat Imam Malik belian mengatakan bahwa
berkumpulnya saksi itu adalah ibadah. Dengan mengutip ulama-ulama terdahulu,
Lebih jauh lagi, al Qurthubi memaparkan permasalahan-permasalan mengenai
persaksian. Jika para saksi itu dianggap tidak adil, maka menurut Hasan al
Bashri dan asy Sya’bi tidak ada had bagi syuhud (persaksian) dan masyhud
(yang dipersaksikan). Menurut Imam Malik; Jika salah seorang di antara mereka
bersaksi karena kebencian atau seorang hamba, maka mereka semua dijilid. Sufyan
ats Tsauri dan Ishaq berkata, “jika empat orang buta bersaksi bahwa seorang
perempuan berzina, maka mereka dipukul.”[29]
Jika
seorang saksi mencabut kembali persaksiannya, sedang yang tertuduh sudah
dirajam, ada yang berpendapat orang itu harus membayar diyat, dan tidak
ada lagi selain itu. Imam Syafi’i berkata, “jika orang itu berkata, ‘saya
sengaja, agar ia dibunuh’, maka jika ahli warisnya menghendaki saksi itu
dibunuh, jika mereka menghendaki maaf, maka diambil seperempat darinya diyat,
dan baginya had”. Demikian pendapat Imam Syafi’i, namun ada juga yang
berpendapat membayar diyat tiga perempatnya. Namun, jika saksi itu
mengakui kesalahan, maka menurut Ibn Sirrin ia harus membayar diyat secara
sempurna.[30]
7. Penjelasan
Had al Qadzfu
Ibnul ‘Arobi menyebutkan 3 pendapat. Pertama,
bahwasannya had al qadzfu adalah hak Allah Swt., ini adalah pendapat Abu
Hanifah. Kedua, bahwasannya had al qadzfuadalah hak al
maqdzuuf (yang dituduh); ini pendapat Malik dan Syafi’i. Ketiga,
bahwasannya had al Qadzfu ada dua
pendapat; percampuran hak Allah yakni kemenangan dan percampuran hak hamba
yakni juga kemenangan, ini adalah kegoncangan dalam pendapat para ulama Maliki.
Ibnul ‘Arobi mengatakan bahwa yang benar adalah had al qadzfu itu adalah
hak hamba.[31]
Demikian juga al Qurthubi menyebutkan 3
pendapat seperti di atas. Kemudian ia menerangkan bahwa faidah dari perbedaan
pendapat tersebut, jika yang demikian itu hak Allah Swt. dan sampai kepada
Imam (pemimpin), maka had dilaksanakan sekalipun al maqdzuf (yang
dituduh) tidak menuntut;, dan taubat hanya bermanfaat bagi qadzif antara dia dengan Allah, dan had diarahkan
dengan halus seperti zina,. Dan jika had al qadzfu itu adalah hak
manusia, maka Imam tidak boleh melaksanakan had tanpa tuntutan dari pihak yang
dituduh (la Maqdzuf), bisa gugur dengan maaf, dan taubat tidak
bermanfaat sampai yang dituduh
menghalalkannya.[32] Ibnul
‘Arobi pun menyebutkan pendapat ini,bahwa jumhur ulama tidak membolehkan Imam
melaksanakan had kecuali atas tuntutan maqdzuuf.[33]
Kemudian al Qurthubi juga memberikan
pengertian jildun, maknamya ضرب(memukul), dan mujaaladah,yakni memukul terhadap
kulit dengan cambuk atau pedang. Terkait dengan ayat ini, orang yang menuduh
jika tidak dapat mendatangkan empat saksi maka dijilid sebanya 80 kali, dan
juga dihukumi sebagai orang fasiq.[34]
8. Hukum Orang yang Bertaubat
Mengenai orang yang bertaubat, Ibnul ‘Arobi
menyebutkan bahwa tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwasannya
kefasikannuya gugur, namun ulam berbeda pandangan tentang menolak kesaksian ke
dalam 4 pendapat: Pertama, diterima persaksiannya sebelum had dan setelah taubat.; ini pendapat
Malik dan Syafi’i, serta yang lainnya dari jumhur manusia. Kedua, apabila telah
dijilid, maka tidak diterima persaksiannya selamanya, tidak sebelum atau sesudah
had. Ini pendapat madzhab Syuraih. Ketiga, diterima sebelum had, dan tidak diterima
setelahhahnya sekalipun bertubat; ini pendapat Hanafi. Keempat, diterima setelah
had dan tidak diterima setelahnya; ini pendapat Ibrahim an Nakha’i.[35]
Pembahasan
mengenai hukum orang yang tidak diterima lagi persaksiannya, Ibnul ‘Arobi
menyebutkan tiga hukum; yakni had, ruddusy syahadah (ditolak
persaksiannya), tafsiiq (dihukumi orang faasiq).Demikianjuga al
Qurthubi.
C.
Kesimpulan: Yang Tidak Ada di Ahkam al
Qur’an,Ada di al Jami’.
Antara Ibnul ‘Arobi dan al Qurthubi,
kendati memiliki banyak persamaan seperti di atas, namun dapat
dikatakan—khususnya dalam tafsir QS. An Nur: 4-5--bahwa kitab tafsir al
Qurthubi lebih mencakup dan lebih lengkap; sebabnya, sebagaimana yang telah
beliau katakan dalam mukaddimah kitabnya, bahwa telah banyak ulama yang
menyusun kitab tentang al Quran; baik itu tentang Qira’atnya, Nasikh-Mansukhnya,
Hukum-hukumnya, tafsirnnya, dan juga I’jaznya. Maka karena alasan itulah
ia menyusun kitab tafsir ini, ia mengumpulkan banyak dari cabang ilmu, dan lalu
menamainya “al Jami’ Li Ahkam al Qur’an”.[36] Ini juga yang
menjadi salah satu alasan mengapa ia mengutip Ibnul ‘Arobi, yang juga tidak
lain adalah pendahulunya.
Ada beberapa pembahasan dalam al
Jami’ yang tidak ada dalam Ahkam al Qur’an, yakni sebagai berikut:[37]
1.
Pembahasan mengenai pandapat jumhur ulama bahwa
tidak ada had bagi orang yang menuduh laki-laki atau pun perempuan ahli kitab.
2.
Pembahasan mengenai pendapat jumhur ulama bahwa
seorang hamba sahaya dijilid empat puluh kali jika menuduh seseorang yang
merdeka.
3.
Ijma’ ulama bahwasannya seseorang yang merdeka tidak
dijilid apabila mengada-ada bahwa hambasahanya telah berzina.[38]
4.
Pendapat Imam Malik danSyafi’i, bahwa orang
yang menuduh berzina terhadap orang yang dikira hamba sahaya; padahal ia itu seorang
yang merdeka, maka atasnya had.
5.
Pembahasan tentang hukum orang yang menuduh isteriNabi
Saw dihukumi dengan dua had.
[1]Manna’ al Qaththan, Mabahits fii Ulum al Qur’an, Riyadh,
Manshurah al ‘Ashr al Hadits, cet. 3,
1411 H/1990 M, hal. 379.
[2]Ibn al ‘Arabi, Ahkam al Qur’an (Tahqiq dan Ta’liq oleh Muhammad
‘Abd al Qadir ‘Atha), Beirut, Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, jld.
3, hal. 12.
[5]Muhammad Sayyid Husein adz Dzahabi, at Tafsir wa al Mufassiruun,
Kairo, Maktabah Wahbah, jilid 2, hal. 331 (Maktabah Syamilah).
[17]AlQurthubi, al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an, Beirut, Muassasah ar
Risalah, cetakan pertama, thn. 2006 M/ 1427 H, jld. 15, hal. 122.
[22]Ibn al ‘Arabi, Ahkam al Qur’an, hal. 341 dan
Al Qurthubi, al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 124.
[36]Al Qurthubi, al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an, Beirut, Muassasah ar
Risalah, cetakan pertama, thn. 2006 M/ 1427 H, jld. 15, hal. 6.
[37]Untuk lebih lengkapnya, lihat langsung kitabal Jami’ Li Ahkaam al
Qur’an, karya al Qurthubi, Beirut, Muassasah ar Risalah, cetakan pertama,
thn. 2006 M/ 1427 H, jld. 15, hal. 125-129.
[38]Maksudnya: bahwa hadnya menjadi hak Allah Swt pada hari kiamat, kecuali
jika ia tidak mengada-ada; yakni memang hamba sahanya sebagaimana ia tuduhkan,
yaitu telah berzina.
Bet Online Casino - KADG PINTAR
BalasHapusThis casino is a top choice for beginners or professional players! The game is simple and 메리트 카지노 고객센터 straightforward 제왕 카지노 with kadangpintar lots of ways to win.