Tafsir Al-Thabari
A. Biografi
Penulis
Namanya adalah Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabari, ia berasal dari Thabrastan, lahir pada tahun 224 H. Ia rihlah
ke berbagai negri dalam mencari ilmu ketika usianya 12 tahun yaitu pada tahun
236 H, di antaranya ke Mesir, Syam, dan Iraq. Ia menetap di Baghdad hingga
wafatnya pada tahun 310 H.
Ibn
Jarir al-Thabari adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkatan Mujtahid
Muthlaq. Dalam pandangan al Khatib al Baghdadi, beliau adalah salah satu
Imam dari orang-orang yang berilmu, ia menghukumi dengan perkataannya dan
merujuk kepada akalnya untuk mengenalnya dan keutamaannya, ia mengumpulkan
ilmu-ilmu dan tidak ada yang menyamainya pada masanya, hafal kitabullah,
Bashir terhadap al Quran, memahami makna dan hukum al Qur’an, ‘alim
terhadap sunnah dan jalan periwayatannya, shahih dan lemahnya, nasikh
mansukhnya, paham terhadap perkataan sahabat dan tabi’in dalam permasalahan
hukum dan permasalahan halal dan haram, bijaksana terhadap pengalaman manusia
dan khabar-khabar mereka.
B. Biografi
Kitab
Kitab Jami’ al Bayan ‘An
Ta’wil al Qur’an yang ditulis oleh bapak tafsir (Abu at Tafsir) ini,
dinilai sebagai literatur penting baik dalam tafsir bil ma’tsur ataupun tafsir
bil ra’yi karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari yang lebih kuat,
disamping memuat istinbath dan wajah-wajah i’rab. Karena itu
kitabnya merupakan kitab paling agung, paling shahih, dan paling lengkap karena
memuat pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in. Banyak ulama menilai tafsir ini
sebagai yang tiada duanya di bidang tafsir.
Metodenya dalam kitab ini
juga dianggap sebagai dasar bagi semua jenis tafsir karena adanya metode khas
yang memadukan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi disertai
dengan pemilihan pendapat yang terkuat. Imam as Suyuthi berkata, “Kitab Ibn
Jarir kitab tafsir paling agung. Kitab itu memaparkan pemilihan berbagai
pendapat, i’rab dan istinbath (pengambilan dalil dari al Quran
dan hadis). Dengan karakterisik inilah kitab ini mengungguli kitab-kitab tafsir
klasik.
Begitu pula bagi Ibn
Taimiyyah, ia berkata: “Adapun kitab-kitab tafsir yang berada di tangan
masyarakat, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad bin Jarir al-Thabari.
Kitab ini menuturkan pendapat kaum salaf dengan sanadnya, tidak memuat bid’ah
dan tidak mengutip dari orang-orang yang tertuduh dusta.”
C. Metode
Tafsir
Dalam menafsirkan al Qur’an,
metode yang ditempuh Imam al-Thabari dalam kitabnya sebagaimana yang telah
dirangkum oleh Dr. Yunus Hasan Abidu dalam karyanya yang berjudul “Tafsir al
Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir” mencakup 12 langkah.
Berikut poin-poinnya secara ringkas:
1) Mengawali
penafsiran dengan mengatakan: “Pendapat tentang takwil firman Allah” begini.
2) Menafsirkan
ayat dengan menguatkan pendapatnya dengan sanadnya sendiri, baik dari sahabat
maupun tabi’in.
3) Menyimpulkan
pendapat umum dari nash dengan bantuan atsar-atsar yang
diriwayatkannya.
4) Menyebutkan
atsar-atsar yang berasal dari Rasulullah saw, sahabat dan tabi’in berikut
dengan sanad-sanadnya mulai dari yang paling kuat dan paling shahih.
5) Menguatkan
pendapat yang dipilihnya dengan alasan-alasannya.
6) Menjelaskan
pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun
gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
7) Melanjutkan
dengan menjelaskan qira’at-qira’atnya, kemudian memilih qira’at yang kuat dan
mengingatkan qira’at yang tidak benar.
8) Menyertakan
sya’ir-sya’ir untuk menjelaskan dan mengukuhkan makna nash.
9) Menuturkan
i’rab pendapat para ahli nahwu untuk menjelaskan makna sebagai akibat
dari perbedaan i’rab.
10) Memaparkan
pendapat-pendapat fikih ketika menjelaskan ayat hukum, mendiskusikan dan
menguatkan yang menurutnya benar.
11) Kadang-kadang
menuturkan pendapat para ahli kalam dan menjuluki mereka dengan ahli jadaal
(ahli teologis dialektis), mendiskusikannya, dan kemudian condong kepada
pendapat ahlu sunnah wal jama’ah.
12) Memberikan
tempat yang tinggi kepada ijma’ umat ketika memilih suatu pendapat.
D. Contoh
Penafsiran
Tafsir QS. al-Kautsar
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ
هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu; dan berkorbanlah (2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
dialah yang terputus (3)
Dalam
menafsirkan surah ini, al-Thabari memulai penafsirannya dengan kalimat “Al qaul
fii takwili qaulihi” (pendapat tentang takwil firman-Nya), sebagaimana yang
sering beliau lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat lainnya.
Lalu ia menyebutkan perbedaan-perbedaan endapat mengenai al-Kautsar, yaitu:
1) Sungai di syurga yang diberikan Alloh swt
kepada Nabi Muhammad saw.
2) Kebaikan yang banyak.
3) Kolam yang diberikan kepada Nabi saw di surga.
Dan yang benar menurut al-Thabary adalah pendapat yang mengatakan
bahwa al-Kautsar adalah nama untuk sungai di Surga yang oleh Allah swt berikan
kepada Nabi saw. Allah swt menyifatinya dengan “Katsroh” yang bermakna
banyak, karena
keagungan/kebesaran/melimpahnya kandungan sungai tersebut.
Selanjutnya, al-Thabari
menyebutkan riwayat-riwayat yang mengisahkan tentang al-Kautsar tersebut. Salah
satunya sebuah hadits dari Anas bin Malik yang mengatakan bahwa, “Ketika Nabi
saw di mi’rajkan, di dalam surga—atau seperti Anas berkata—Surga diperlihatkan
kepada Nabi saw. kedua tepi sungainya adalah yaqut (sejenis batu mulia,--penj)
yang melekuk, lalu Malaikat
yang sedang bersama beliau memukul lekukan tersebut sehingga keluar lah minyak
kasturi. Nabi Muhammad bertanya kepada Malaikat yang bersamanya tersebut, “Apa
ini?” ia menjawab, “Ini adalah al-Kautsar yang Allah berikan kepadamu”... (HR.
Abu Dawud).
Dalam
riwayat lain yang diketengahkan al-Thabary disebutkan, kedua tepi sungai
tersebut adalah kubah mutiara yang melekuk, tanahnya adalah minyak kasturi,
yang lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, di dalamnya ada burung yang
lehernya seperti leher unta.
Kemudian
dilanjutkan dengan penafsiran فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ,
menurut al-Thabari, ada yang berpendapat bahwa makna وَانْحَرْ adalah:
1) Dorongan
agar teratur dalam shalat wajib serta menjaga waktu-waktunya. Alasannya adalah
riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa makna “وَانْحَرْ” adalah:
a)
Menyimpan tangan kanan di atas tangan
kiri dalam shalat.
b)
Mengangkat tangan pada awal dibacakan
takbir dalam iftitah.
c)
Shalat shubuh dan menyembelih sembelihan
pada hari adha.
d)
Nabi saw menyembelih sebelum shalat, lalu
beliau diperintah untuk shalat baru kemudian menyembelih.
2) Satu
kaum shalat dan menyembelih bukan karna Allah, maka dikatakan “Jadikanlah
shalat dan sembelihanmu karena Allah, karena ketika itu orang kafir
menjadikannya bukan karena Allah”.
3) Ayat
ini turun pada hari Hudaibiyyah ketika Nabi saw dan para sahabatnya dikepung.
Maka Allah swt memerintahkan beliau untuk shalat, berkurban, lalu berpaling.
Lalu beliau mengerjakannya.
Makna yang benar menurut
al-Thabary adalah menjadikan shalat dan sembelihan ikhlas karena Allah sebagai
rasa syukur terhadap kemuliaan dan kebaikan yang sepadan dan sebagai syukur
kepada yang telah memberikan al-Kautsar hanya kepada beliau.
Terakhir,
makna إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ
الْأَبْتَرُmenurut
al-Thabary, sebagai berikut:
1) Musuh
Nabi yang Allah swt maksudkan adalah al-‘Ash bin Wail al-Sahmi. Sedangkan “al
Abtar” maknanya adalah kerendahan dan kehinaan.
2) Musuh
Nabi yang Allah swt maksudkan adalah Uqbah bin Mu’ith.
3) Musuh
Nabi yang Allah swt maksudkan adalah sekelompok orang-orang Quraisy.
Yang benar menurut
al-Thabary, makna ayat tersebut adalah musuh Nabi yang paling rendah paling
hina, yang terputus keturunannya. Sifat ini merupakan sifat orang-orang yang
membenci beliau siapa pun orangnya, sekalipun ayat tersebut turun berkenaan
orang tertentu.
*****
Tafsir Al-Baidlawi
A. Biografi
Penulis
Namanya adalah
Nashiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin ‘Ali al-Syirozi
al-Syafi’i al-Baidlawi. al-Baidlawi ini adalah nisbat kepada
Baidla’; nama salah satu negri di Persia.tidak ada sumber yang menyebutkan
tahun kelahirannya.
Para ulama berkata
mengenai keunggulan beliau. Al-Suyuthi berkata, “Beliau adalah Imam yang banyak
ilmunya, menguasai fikih, ashlain, bahasa Arab, dan ilmu mantiq. Beliau
adalah orang yang pandai, shaleh, ahli ibadah, dan seorang Syafi’iyyah.” Ibn
Qadli Syuhbah dalam kitab Thabaqohnya, “Banyak karyanya, ‘alim
Azerbaijan, dan Syaikh di daerah tersebut.” Al-Subki berkata, “Beliau adalah
Imam cemerlang, pandai, baik, shaleh, dan ahli ibadah.”
Menurut al-Subki dan
al-Isnawi, beliau wafat pada tahun 691 H. Sedangkan menurut Ibn Katsir dan
ulama lainnya, beliau wafat pada 685 H.
B. Biografi
Kitab
Tafsir ini diberi nama
oleh pengarangnya dengan Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Takwil, namun lebih
dikenal dengan nama tafsir Baidlawi. Kitab tafsir ini menggabungkan antara
tafsir dan takwil menurut kaidah-kaidah bahasa Arab, lalu memberi keputusan
dengan dalil-dalil pokok ahlu sunnah.
Kitab tafsir ini adalah
ringkasan dari tafsir al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari, namun, dalam tafsir ini
al-Baidhlawi telah menghilangkan ke’i’tizalannya (paham muktazilahny,--penj.),
sekalipun dalam beberapa penafsiran, al-Baidlawi juga merujuk pendapat—atau
sependapat—dengan al-Zamakhsyari dalam al Kasyaf.
C. Metode
Tafsir
Langkah-langkah yang
beliau lakukan dalam menyusun kitab sekaligus menafsirkan ayat-ayatnya adalah
sebagai berikut:
1) Meringkas
Penafsiran dari kitab tafsir al-Kasyaf karya al-Zamaksyari dengan menghilangkan
paham-paham mu’tazilahnya.
2) Mengambil
penafsiran dari tafsir al-Kabir (Mafaatih al-Ghaib) karya Fachru al-Razi dan
tafsir al-Raghib al-Ashfahani.
3) Kadang-kadang
menganggap penting penyebutan qira’at-qira’at, akan tetapi ia tidak
mensyaratkan mutawattir, sehingga ia menyebut qiraat yang syadz (janggal).
4) Menyajikan
pembahasan nahwu secara ringkas.
5) Menyajikan
beberapa pembahasan fikih dalam ayat-ayat hukum dengan tidak bertele-tele.
6) Mengakui,
menetapkan, atau mentarjih (menguatkan) pendapat ahlu sunnah.
7) Sedikit
sekali menyebut riwayat israiliyyat serta menyebut sumber riwayat dengan lafadz
“Ruwiya” atau “Qiila” sebagai isyarat untuk memberitahukan kedla’ifannya.
8) Ketika
menafsirkan ayat-ayat kauniyyah, beliau sama sekali tidak menyimpang dari
pembahasan tentang kaun dan al-thabi’ah (alam semesta).
D. Contoh
Penafsiran
Tafsir QS. al-Kautsar
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ
هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu; dan berkorbanlah (2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
dialah yang terputus (3)
Menurut al-Baidlawi, ada
yang membaca dengan إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ dengan انا أنطيناك.
Makna al-Kautsar adalah kebaikan
yang terlampau banyak berupa ilmu, amal, dan kemuliaan 2 rumah. Ia juga
mengutip sebuah riwayat dengan lafaz “Ruwiya” (diriwayatkan; isyarat
kedla’ifan), yang menyebutkan bahwa, “al-Kautsar adalah sungai di surga dan ‘adn-nya
Tuhanku yang memiliki banyak kebaikan; lebih manis dari madu, lebih putih dari
susu, lebih dingin dari salju, lebih halus dari buih. Dua tepi sungainya adalah
batu permata, bejananya terbuat dari perak yang minumannya tidak akan membuat
haus”. Kemudian ia juga mengutip pendapat dengan lafadz “Qiila” (dikatakan.
isyarat kedla’ifan) bahwa al-Kautsar adalah telaga, anak, pengikut, ulama umat,
atau al Quran.
Makna “فَصَلِّ لِرَبِّكَ” menurut al-Baidlawi adalah mendahulukan shalat dengan ikhlas
karena Allah swt. yang sekaligus menyalahi atau menentang orang-orang munafik
sebagai syukur nikmat-nikmat-Nya. Karena shalat itu mencakup atau menghimpun
semua macam syukur. Sedang “وَانْحَرْ”
adalah sembelihan/kurban; yaitu harta pilihan dan sedekah kepada orang-orang
miskin; sebagai penentang terhadap orang yang menelantarkan mereka dan
menghalangi hak zakat untuk mereka. Surat ini seperti surat yang sebelumnya
(QS. al-Ma’un,--penj), ditafsirkan shalat di sini dengan shalat ‘ied dan
“al-Nahru” dengan kurban.
“إِنَّ شَانِئَكَ”
maknanya, sesungguhnya di antara adalah orang yang benci terhadap Nabi Muhammad
saw pasti Allah pun benci kepada mereka. “هُوَ الْأَبْتَرُ”
maknanya, dialah orang yang tidak punya penerus, karena tidak memiliki
anak/keturunan dan tidak memiliki anak-laki yang baik. Sedangkan kamu
(Muhammad), masih tersisa keturunanmu, reputasi baikmu, dan atsar/pengaruh
keutamaanmu sampai hari kiamat. Untukmu (Muhammad) apa yang ia (al-abtar)
tidak termasuk kepada pensifatan
tersebut.
Sebagai penutup tafsir QS.
al-Kautsar ini, al-Baidlawi mengutip sebuah riwayat dari Nabi saw, “Barang
siapa yang membaca (surah) al-Kautsar, niscaya Allah memberinya kesegaran dari
semua sungai di surga serta mencatat untuknya sepuluh kebaikan dari setiap
kurban/sembelihan hamba pada hari Nahr (adha)yang agung”.
*****
Tafsir Al-Thabarsi
A. Biografi
Penulis
Namanya adalah Abu ‘Ali al
Fadhl bin Hasan bin al Fadhl ath Thabarsi al Masyhadi.
Dalam pandangan orang Syi’ah, nama inilah yang telah menulis kitab Majma’ al
Bayan fii Tafsir al Qur’an. Ia berasal dari keluarga orang yang berilmu;
anaknya Ridho ad Din Abu Nashr Hasan bin Fadhl yang berakhlak mulia, cucunya
Abu Fadhl ‘Ali bin Hasan, dan seluruh silsilah keluarga dan kerabatnya menjadi
pembesar-pembesar ulama. Banyak ulama meriwayatkan darinya,
diantaranya seperti anakanya sendiri, Ibn Syahr Asywab, Syaikh Muntakhob ad
Din, al Quthb al Rawandi, dan sebagainya. Sedangkan dia sendiri meriwayatkan
dari Syaikh Abi ‘Ali bin asy Syaikh ath Thusi.
Syaikh Muntakhob dalam al
Fihris mengatakan bahwasannya ia ini tsiqoh. Beberapa di antara karyanya
adalah Majma’ al Bayan fii Tafsir al Qur’an, al Wasith fii at Tafsir, al
Wajiiz, I’lam al Waraa bi A’lam al Hudaa, Taaj al Mawaalid wa al Adaabi ad
Diniyyati li al Khazanah al Mu;iibah, dan sebagainya. Ia memang memiliki banyak karya termasuk
dalam bidang fikih dan kalam, karna keluasan ilmunya, sebagian ulama sampai
mengatakan bahwa ia sudah mencapai tingkat Mujtahid. Ia wafat pada malam ‘idhul
qurban tahun 538 H.
B. Biografi
Kitab
Kitab tasfir ini bernama Majma’
al-Bayan Fii Tafsir al Qur’an. Kitab ini ia tulis ketika usianya menginjak
60 tahun. Mengenai metode yang ia gunakan dalam kitabnya, ringkasnya seperti
yang ia uraikan sendiri. Ia berkata, “Saya memulai menulis sebuah kitab yang
sangat ringkas, padat, sistematika yang baik, yang memuat jenis-jenis ilmu ini,
memuat sumber-sumbernya, seperti ilmu qira’at, i’rab, bahasa,
makna-makna peliknya, problematikanya, makna-maknanya, segi-seginya, turunnya,
sejarahnya, kisah-kisahnya, kebaruan-kebaruannya, hukum-hukumnya, mengkaji
tuduhan-tuduhan negatif dan saya akan menuturkan pendapat-pendapat yang khas
dari rekan-rekan saya dalam menggali hukum di berbagai tempat sesuai dengan apa
yag mereka yakini, baik ushul, furu’, ma’qul maupun masmu’nya.
Dalam cetakan Dar al ‘Ulum Beirut kitab ini diterbitkan tidak kurang dari 10
jilid.
C. Metode
Tafsir
Metode yang ditempuh oleh ath
Thabarsi mencakup 7 langkah, berikut poin-poinnya secara ringkas:
1) Memulai
penafsiran dengan menyebutkan turunnya dan ayat-ayatnya, kemudian
qira’ah-qira’ahnya, bahasa, i’rab dan munasabah antar ayat.
2) Menyebutkan
asbab an nuzul, makna-makna, dan takwil-takwilnya.
3) Menyebutkan
kisah-kisah mutasyabih dan musykil-musykilnya.
4) Dalam
muqaddimah tafsirnya, ia juga memulai tafsirnya dengan memberi pengantar dengan
sebagian ilmu al Quran. hal yang dipaparkan mencakup 7 hal yakni; jumlah ayat
al Quran, para Qari’ yang masyhur, makna tafsir, takwil dan hukum tafsir bil
ra’yi, nama-nama al Qur’an, kemukjizatan al Qur’an, penambahan dan
pengurangannya, khabar-khabar berkenaan dengan keutamaan al Quran dan ahlinya,
anjuran memperbaiki pengucapan dan memperindah membacanya. Kemudian memulai
tafsirnya dengan membicarakan isti’adzah dan basmalah.
5) Memaksimalkan
semua segi yang dibicarakannya.
6) Menyebutkan
hadis-hadis, namun tidak terlepas dari hadis-hadis maudhu’, khusunya dalam
rangka membela madzhabnya dan akidahnya,
di samping kesalahannya dalam meriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaan
surat-surat yang diriwayatkan oleh selainnya dari Ubai dan yang lain, yang
menurut kesepakatan ulama merupakan hadis-hadis maudhu’.
7) Meriwayatkan
banyak isra’iliyyat yang dinisbatkan kepada pengucapnya tanpa memberi komentar.
Kecuali yang berkenaan dengan akidah, maka ia mengkritik habis-habisan dan
menunjukkan kedustaannya.
D. Contoh
Penafsiran
Tafsir QS. al-Kautsar
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ
هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu; dan berkorbanlah (2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
dialah yang terputus (3)
Ketika
hendak menafsirkan surah al-Kautsar, al-Thabarsi memberikan semacam pengantar
sebelum menginjak lebih jauh pada penafsiran ayat. Pengantar tafsir surah al
Kautsar ini, diberi judul oleh al-Thabarsi dengan judul “ واياتها(3)/مكية”. Isi pengantar ini, antara lain:
a.
Pertama,
menyatakan bahwa surah ini termasuk surah makiyyah. Al-Thabarsi
menyebutkannya dari Ibn ‘Abbas dan al kalabi. Ada juga yang mengatakan surah
ini adalah Madaniyyah, ia menyandarkannya kepada ‘Ikrimah dan adh
Dhahak.
b.
Kedua,
menjelaskan keutamaan surah ini. Ia menyandarkannya kepada hadis yang ia terima
dari ayahnya bahwa orang yang membacanya maka Allah akan memberinya minum dari
sungai syurga, dan memberinya pahala dengan bilangan setiap kurban yang seorang
hamba berkurban dengannya pada hari ‘id dari ahli kitab dan orang musyrik.
Hadisnya sebagai berikut:
Abu
Basyir dari Abi ‘Abdillah ‘Alaihissalam dia berkata: “Barang siapa yang membaca
(!trOöqs3ø9$#»oYøsÜôãr&$¯RÎ))
dalam—ibadah—yang fardhu dan yang sunnahnya (nawaafil), Allah akan
memberinya minum pada hari kiamat dari al Kautsar. Dan orang yang
menceritakannya berada di sisi Muhammad shallallhu ‘alaihi wa sallam.
c.
Ketiga,
menjelaskan tafsirnya secara global. Yakni surah ini adalah celaan Allah Swt
terhadap orang yang meninggalkan shalat dan menahan zakat. Serta surah ini juga
menyebutkan bahwa kalaulah mereka mengerjakannya, dan mereka pun
mendustakannya. Maka sesungguhnya Allah Swt telah memberinya kebaikan yang
banyak serta memerintahkan Shalat kepadanya. Maka Ia berfirman:
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ
هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Kemudia
ath Thabarsi terlebih dahulu menafsirkan ayat ini secara bahasa saja, yakni
pada lafadz “al Kautsar”; Ia menafsirkan bahwa secara bahasa “al-Kautsar”
adalah wazan “Fau’ala” dari Katsroh, dan “al Katsroh” bermakna sesuatu yang
banyak. Dan “al Kautsar” maknanya adalah “al Khairul katsir” (kebaikan yang
banyak). Kemudian pada lafadz
“A’thainaaka” dengan makna pemberian dari dua segi; yakni tamlik
(kepemilikan) dan ghair tamlik (bukan kepemilikan), maka makna Allah Swt memberikan al Kautsar kepada
Nabi adalah memberikan kepemilikannya seperti kepemilikan pahala, karna asal
dari kalimat “a’tha”adalah “tanaawala” memberi dan menerima.
Lalu ath Thabarsi menerangkan
I’rab dari ayat ini, yakni pada kalimat ptùU$#ur ada maf’ul (objek) yang di buang.
Artinya kurbankanlah sembelihanmu. Selain itu, ia juga menyinggung bahwa ayat
ini turun berkenaan dengan orang yang bernama al ‘Ash bin Wail.
Menurut at Thabarsi ayat ini adalah perintah untuk bersyukur atas nikmat yang
besar. Kemudian ia juga menyebutkan
perbedaan para ulama dalam menafsirkan ayat ini, namun, ia tidak memilih atau
menguatkan salah satu dari pendapat tersebut.
al-Thabarsi menjelaskan
beberapa poin dari surah ini yang menegaskan kebenaran kenabian Nabi Muhammad
Saw, yaitu sebagai berikut:
a. Allah Swt
mengabarkan kepada Nabi Muhammad tentang apa yang ada dalam hati
musuh-musuhnya, ia mengetahuinya sekalipun musuh-musuhnya itu tidak
menyampaikannya.
b. Tafsir
dari trOöqs3ø9$#»oYøsÜôãr&$¯RÎ), “lihatlah bagaimana ia
menyebarkan agama-Nya, dan meninggikan perintahnya, sehingga Allah Swt
menjadikan banyak keturunannya, sampai nasabnya lebih banya dari setiap nasab,
tidak ada yang menyamainya dalam hal tesebut.
c. Semua
ahli bahasa Arab lemah untuk mendatangkan surat semacam ini.
d. Allah
Swt menjanjikan pertolongan dari musuh-musuh kepada Nabi Muhammad Saw,
memutuskan perkara dan agama mereka. Ia dikabari dengan apa yang Allah kabarkan
kepadanya. Dalam surah ini terdapat mukjizat berupa keserupaan dan kemudahan makhraj-makhraj
huruf dengan susunan yang baik.
*****