Rabu, 05 Maret 2014

Tafsir QS. An Nuur, 4-5: Antara Ibnul ‘Arobi dan al Qurthubi


Mengenal Ibnul ‘Arobi dan Kitab Tafsirnya
          Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al Ma’afirii al Andalusi al Isybili. Ia adalahsalah satu imamnya para ulama Andalusia yang luas ilmunya, berasal dari madzhab Maliki.[1]Beliau dilahirkan pada tahun 486 H bertepatan dengan tahun 1076 M, ia belajar di negrinya sendiri; yaitu Andalusia, dan setelah mempelajari Qira’at, barulah ia melakukan rihlah ke beberapa negri seperti Mesir, Syam, Baghdad, dan Mekkah.[2]
            Ibnul ‘Arobi mempelajari ilmu dari para ulama setiap negri yang disinggahinya, hingga mantap dalam bidang fikih dan ushul, kuat dalam ilmu hadits, menguasai perbedaan-perbedaan dan ilmu kalam, dan tentu saja ia juga seorang yang luas ilmunya dalam bidang tafsir; serta masih banyak lagi cabang ilmu yang dikuasainya selain yang tersebut.[3]
            Dalam bidang tafsir khususnya, karya monumental beliau adalah sebuah kitab tafsir yang diberi nama “Ahkam al Qur’an”. Kitab ini adalah salah satu kitab yang paling penting yang telah disusun oleh penulisnya, bahkan juga menjadi salah satu kitab tafsir bercorak fiqih (hukum) yang paling penting dalam madzhab Maliki.[4] Kitab ini membahas seluruh surah dalam al Quran, namun hanya ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum saja. Ibnul ‘Arabi dalam kitab tafsirnya ini sempat dikatakan ta’ashub terhadap madzhab Maliki, karena memang beliau sangat terpengaruh oleh madzhabnya tersebut. Namun, kendati demikian ta’ashubnya ini tidak sampai ke tingkat yang membawanya kepada kesalahan ilmiah yang bersumber dari madzhab Maliki.[5] Dalam kitabnya ini, cara yang ditempuhnya dalam
menafsirkan ayat-ayat hukum adalah dengan menyebutkan pandangan para ulama secara ringkas, lalu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi perselisihan dalam banyak madzhab, ia sendiri kemudian menyebutkan pada setiap tafsir ayat dengan lafadz “al Mas’alah Ula (Masalah yang pertama).. , al Mas’alah ats Tsaani (Masalah yang kedua).. dan seterusnya.[6]

            Satu hal lagi, dalam kitab ini ia menafsirkan setiap ayat dengan bersandar kepada kaidah kebahasaan dalam beristinbath (mengambil kesimpulan) hukum, ia berlepas diri dari Isra’iliyyat, serta senantiasa berhati-hati dan mengkritik hadis-hadis yang dla’if. Kitab ini telah dicetak dalam banyak cetakan, salah satu di antaranya  ada yang dicetak dalam 2 jilid besar dan ada juga yang dicetak dalam 4 jilid.[7]
            Selain kitab Ahkam al Quran, masih ada banyak kitab yang beliau tulis; termasuk dalam bidang hadis, beberapa di antaranya seperti kitab al ‘Awashim min al Qawashim, ‘Aridhah al Ahwadzi fii Syarh at Tirmidzi, al Qobas fii Syarh Muwaththa’ Ibn Anas, an Nasikh wa al Mansukh, Kitab al Mutakallimiin, Qaanun at Takwil, dan sebagainya.[8]
            Beliau wafat pada tahun 543 H, jenazahnya dibawa ke Madinah dan dimakamkan disana.[9] Semoga Allah meridhainya.

Mengenal al Qurthubi dan Kitab Tafsirnya
          al Qurthubi memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al Anshori al Khazraji al Andalusi, ia adalah seorang yang shaleh, ulama yang arif, seorang zaahid, dan seorang yang selalu menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang berarti untuk akhirat.[10]
            Kitab Tafsir yang disusunnya diberi nama “al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an”. Al ‘Allamah Ibn Farhun berkata dalam mensifati kitab ini, “Ini adalah kitab yang paling mulia dan paling agung dari kitab-kitab tafsir”.[11]
            Imam al Qurthubi dalam kitab ini tidak meringkas ayat-ayat hukum, hanya saja ia menafsirkan al Quran dengan taba’an (mengikuti), ia menyebutkan sababun nuzuul, memperlihatkan Qira’at dan I’rab, menjelaskan lafadz-lafadz yang asing, menyandarkan pendapat-pendapat kepada orang yang mengatakannya, menerangkan pada mushaf banyak dari kisah-kisah para mufassir, informasi-informasi dari ahli sejarah, ia juga mengutip dari ulama-ulama terdahulu yang muwatsiq, yang mereka juga menyusun kitab-kitab hukum, maka ia juga mengutip dari Ibn Jarir, Ibn ‘Athiyah, Ibnul ‘Arobi, al Kayaa al Haras, dan Abu Bakar al Jashshash.[12]
            Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, al Qurthubi sangat mencurahkan kemampuannya, ia menyebutkan perselisihan-persellisihan pendapat, dan juga menyebutkan argumen-argumennya. Dan yang paling menarik dari al Qurthubi dan kitab tafsirnya ini adalah obyektifitasnya dalam setiap penafsiran, ia sama sekali tidak terjebak keta’ashuban (fanatik) terhadap madzhabnya sendiri (Maliki),ia tidak ragu untuk menguatkan pendapat yang menurutnya lebih tepat dan lebih bisa dipertanggungjawabkan sekalipun pendapat tersebut datang dari orang yang bukan dari madzhabnya.[13]
            Satu lagi yang menarik, dalam kitabnya ini ia jugamemberikan bantahan terhadap pendapat-pendapat yang datang dari kaum Muktazilah, Qadariyyah, Rafidah, Filsafat, dan Tasawuf. Namun dengan bahasa dan penyampaian yang halus, berbeda dengan pendahulunya seperti Ibnul ‘Arobi yang terkesan kasar dalam menolak pendapat orang lain.[14]
          beliau wafat pada bulan syawal 671 H.[15] Seoga Allah Swt merahmatinya dengan rahmat yang luas.

Tafsir QS. An Nuur, 4-5: Antara Ibnul ‘Arobi dan al Qurthubi
A.    Teks Ayat
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nur: 4-5)
B. Penafsiran Ibnul ‘Arobi dan al Qurthubi
                Dalam menafsirkan dua ayat ini, Ibnul ‘Arobi mengklasifikasikannya ke dalam 16 permasalahan;[16] sedangkan al Qurthubi menggolongkannya ke dalam 26 permasalahan[17].Dalam 16 permasalahan tersebut, Ibnul ‘Arobi membahas hampir semua lafadz dalam dua ayat di atas secara khusus dalam setiap permasalahan, sedang al Qurthubi hanya membahas beberapa di antaranya.
1.  Penafsiran Kalimat bqãBötƒtûïÏ%©!$#ur
Ibnu ‘Arobi menjelaskan bahwa kalimat “yarmuuna” diambil dari kalimat “ar Ramyu”, maknanya adalah يريد يشتمون yang artinya bermaksud mencaci. Kemudian ia mengutip sebuah hadits dari Ibn Abbas sebagai berikut:
ان هلال بن امية قذف امرأته بشريك بن سحماء.
Sesunggunya Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma.
            Kemudian Ibn ‘Arobi mengutip perkataan Abu Kabsyahو جرح اللسان كجرح اليد.[18]Sedang al Qurthubi menjelaskan makna arramyu dengan يريد يسبون yang artinya sama, yakni bermaksud mencaci, dan kemudian disebut dengan al Qadzfu berdasarkan hadisdari Ibn Abbas yang  juga dikutip oleh Ibnul ‘Arobi.[19]Dalam menafsirkan kalimat ini, Ibnul ‘Arobi dan al Qurthubi tidak jauh berbeda, mengingat pendapat Ibnul ‘Arobilah yang dikutipolehal Qurthubi dalam menafsirkan kalimat ini.
2.  Penafsiran Kalimat  M»oY|ÁósßJø9$أ
          Menurut Ibnul ‘Arobi, yang dimaksud dengan kalimat al Muhshan disini adalah sebagaimana dalam surah an nisa, yakni dimutlakkan kepada seorang Muslim yang merdeka dan suci, dan kendati lafadznya muannats namun padanya berlaku qiyas, bahwa ayat ini berlaku juga untuk laki-laki.[20] Sejalan dengan Ibnul ‘Arobi, al Qurthubi pun menjelaskan bahwa kalimat al Muhshanat di sana, sekalipun bentuknya muannats, namun berlaku umum untuk laki-laki maupun perempuan. Jadi sama saja, baik laki-laki ataupun seorang perempuan yang terkena tuduhan, seperti pada ayatوالذي أحصنت فرجها, yakni berlaku umum, baik farji (kemaluan) laki-laki ataupun perempuan.[21]
3.  Syarat al Qadzfu (tuduhan)
     Mengenai syarat al Qadzfu (tuduhan), baik Ibul ‘Arobi ataupun al Qurthubi sama-sama menyebutkan bahwa ada sembilan syarat yang harus terpenuhi agar al Qadzfu itu bisa dianggap syah, 2 syarat pada al Qadzif (penuduh); yakni berakal dan baligh, 2 syarat pada tuduhan itu sendiri; yakni tuduhan itu haruslah merupakan tuduhan yang mengharuskan adanya had, yakni zina dan liwat (homoseksual), serta adanya penyangkalan terhadap tuduhan tersebut, jadi tidak semua maksiat masuk dalam al Qadzfu, dan 5 syarat pada al Maqdzuf (yang dituduh); yakni berakal, baligh, Islam, merdeka, serta menjauhkan diri dari perbuatan keji yang dituduhkan.[22]
     Keduanya juga sama menyebutkan bahwa para ulama telah sepakat jika memang benar berzina maka itu masuk kepada al Qadzfu dan dosa yang wajib atasnya had. Keduanya juga sama-sama mengutip QS. Hud: 87, QS. Ad Dukhon: 49, namun al Qurthubi menambah dengan mengutip QS. Maryam: 28 dan QS. An Nisa: 156, serta QS. .[23]
4.  Hukum Perkataan “Wahai Orang yang Duduk Di Antara Dua Paha!” .
     Ibnul ‘Arobi mengutip pendapat Ibn al Qaasim bahwa bagi yang mengatakannya dikenai had, karena hal itu termasukta’ridh (ganti rugi atas pencemaran nama baik),  ia juga mengutip perkataan Asyhab yang mengatakan, “tidak ada had di dalamnya, karena ayat ini nisbatnya kepada perbuatan, zina tidak dihitung berdasarkan ijma’”. Diakhir ia kembali mengutip Ibn al Qaasim yang berkata, “Yang paling benar adalah dari segi ta’ridnya.”[24]
     Sedangkan al Qurthubi, kendati sama mengutip pendapat dua ulama di atas, namun ia tidak mentarjih mana pendapat yang lebih kuat.[25]
5.  Tuduhan Zina kepada Anak yang Belum Baligh.
     Ibnul ‘Arobi mengatakan, termasuk Qadzf menurut Malik, bukan Qadzf menurut Hanafi; karena hal itu bukan zina. Namun, beliau mentarjihkan pendapat Malik dengan alasan menjaga nama baik al Maqdzuf, dan dikenai had bagi al Qaadzif karena telah mencemarkan nama baik dengan lisannya.[26] Sejalan dengan Ibnul ‘Arobi, al Qurthubi pun mengutip pendapat-pendapat yang dikutip oleh Ibnul ‘Arobi, namun ditambah lagi dengan pendapat-pendapat dari ulama lainnya. Masalah  ini dibahas lebih panjang lebar lagi, namun dengan tidak memilih atau mentarjih pendapat yang lebih kuat.[27]
6.  Penjelasan kalimat Ïuä!#ypkà­§(pyèt/ör'Î/#qè?ù'tƒóOs9NèO
    Syarat persaksian itu adalah berada dalam satu majlis, tidak terpisah-pisah, demikian pendapat Ibnul ‘Arobi.[28] Demikian juga menurut al Qurthubi, mengutip pendapat Imam Malik belian mengatakan bahwa berkumpulnya saksi itu adalah ibadah. Dengan mengutip ulama-ulama terdahulu, Lebih jauh lagi, al Qurthubi memaparkan permasalahan-permasalan mengenai persaksian. Jika para saksi itu dianggap tidak adil, maka menurut Hasan al Bashri dan asy Sya’bi tidak ada had bagi syuhud (persaksian) dan masyhud (yang dipersaksikan). Menurut Imam Malik; Jika salah seorang di antara mereka bersaksi karena kebencian atau seorang hamba, maka mereka semua dijilid. Sufyan ats Tsauri dan Ishaq berkata, “jika empat orang buta bersaksi bahwa seorang perempuan berzina, maka mereka dipukul.”[29]
     Jika seorang saksi mencabut kembali persaksiannya, sedang yang tertuduh sudah dirajam, ada yang berpendapat orang itu harus membayar diyat, dan tidak ada lagi selain itu. Imam Syafi’i berkata, “jika orang itu berkata, ‘saya sengaja, agar ia dibunuh’, maka jika ahli warisnya menghendaki saksi itu dibunuh, jika mereka menghendaki maaf, maka diambil seperempat darinya diyat, dan baginya had”. Demikian pendapat Imam Syafi’i, namun ada juga yang berpendapat membayar diyat tiga perempatnya. Namun, jika saksi itu mengakui kesalahan, maka menurut Ibn Sirrin ia harus membayar diyat secara sempurna.[30]
7.  Penjelasan Had al Qadzfu
     Ibnul ‘Arobi menyebutkan 3 pendapat. Pertama, bahwasannya had al qadzfu adalah hak Allah Swt., ini adalah pendapat Abu Hanifah. Kedua, bahwasannya had al qadzfuadalah hak al maqdzuuf (yang dituduh); ini pendapat Malik dan Syafi’i. Ketiga, bahwasannya  had al Qadzfu ada dua pendapat; percampuran hak Allah yakni kemenangan dan percampuran hak hamba yakni juga kemenangan, ini adalah kegoncangan dalam pendapat para ulama Maliki. Ibnul ‘Arobi mengatakan bahwa yang benar adalah had al qadzfu itu adalah hak hamba.[31]
     Demikian juga al Qurthubi menyebutkan 3 pendapat seperti di atas. Kemudian ia menerangkan bahwa faidah dari perbedaan pendapat tersebut, jika yang demikian itu hak Allah Swt. dan sampai kepada Imam (pemimpin), maka had dilaksanakan sekalipun al maqdzuf (yang dituduh) tidak menuntut;, dan taubat hanya bermanfaat bagi qadzif  antara dia dengan Allah, dan had diarahkan dengan halus seperti zina,. Dan jika had al qadzfu itu adalah hak manusia, maka Imam tidak boleh melaksanakan had tanpa tuntutan dari pihak yang dituduh (la Maqdzuf), bisa gugur dengan maaf, dan taubat tidak bermanfaat  sampai yang dituduh menghalalkannya.[32] Ibnul ‘Arobi pun menyebutkan pendapat ini,bahwa jumhur ulama tidak membolehkan Imam melaksanakan had kecuali atas tuntutan maqdzuuf.[33]
     Kemudian al Qurthubi juga memberikan pengertian jildun, maknamya ضرب(memukul), dan mujaaladah,yakni memukul terhadap kulit dengan cambuk atau pedang. Terkait dengan ayat ini, orang yang menuduh jika tidak dapat mendatangkan empat saksi maka dijilid sebanya 80 kali, dan juga dihukumi sebagai orang fasiq.[34]
8.  Hukum Orang yang Bertaubat
     Mengenai orang yang bertaubat, Ibnul ‘Arobi menyebutkan bahwa tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwasannya kefasikannuya gugur, namun ulam berbeda pandangan tentang menolak kesaksian ke dalam 4 pendapat: Pertama, diterima persaksiannya  sebelum had dan setelah taubat.; ini pendapat Malik dan Syafi’i, serta yang lainnya dari jumhur manusia. Kedua, apabila telah dijilid, maka tidak diterima persaksiannya selamanya, tidak sebelum atau sesudah had. Ini pendapat madzhab Syuraih. Ketiga, diterima sebelum had, dan tidak diterima setelahhahnya sekalipun bertubat; ini pendapat Hanafi. Keempat, diterima setelah had dan tidak diterima setelahnya; ini pendapat Ibrahim an Nakha’i.[35]
     Pembahasan mengenai hukum orang yang tidak diterima lagi persaksiannya, Ibnul ‘Arobi menyebutkan tiga hukum; yakni had, ruddusy syahadah (ditolak persaksiannya), tafsiiq (dihukumi orang faasiq).Demikianjuga al Qurthubi.
C.           Kesimpulan: Yang Tidak Ada di Ahkam al Qur’an,Ada di al Jami’.
            Antara Ibnul ‘Arobi dan al Qurthubi, kendati memiliki banyak persamaan seperti di atas, namun dapat dikatakan—khususnya dalam tafsir QS. An Nur: 4-5--bahwa kitab tafsir al Qurthubi lebih mencakup dan lebih lengkap; sebabnya, sebagaimana yang telah beliau katakan dalam mukaddimah kitabnya, bahwa telah banyak ulama yang menyusun kitab tentang al Quran; baik itu tentang Qira’atnya, Nasikh-Mansukhnya, Hukum-hukumnya, tafsirnnya, dan juga I’jaznya. Maka karena alasan itulah ia menyusun kitab tafsir ini, ia mengumpulkan banyak dari cabang ilmu, dan lalu menamainya “al Jami’ Li Ahkam al Qur’an”.[36] Ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa ia mengutip Ibnul ‘Arobi, yang juga tidak lain adalah pendahulunya.
            Ada beberapa pembahasan dalam al Jami’ yang tidak ada dalam Ahkam al Qur’an, yakni sebagai berikut:[37]
1.    Pembahasan mengenai pandapat jumhur ulama bahwa tidak ada had bagi orang yang menuduh laki-laki atau pun perempuan ahli kitab.
2.    Pembahasan mengenai pendapat jumhur ulama bahwa seorang hamba sahaya dijilid empat puluh kali jika menuduh seseorang yang merdeka.
3.    Ijma’ ulama bahwasannya seseorang yang merdeka tidak dijilid apabila mengada-ada bahwa hambasahanya telah berzina.[38]
4.    Pendapat Imam Malik danSyafi’i, bahwa orang yang menuduh berzina terhadap orang yang dikira hamba sahaya; padahal ia itu seorang yang merdeka, maka atasnya had.
5.    Pembahasan tentang hukum orang yang menuduh isteriNabi Saw dihukumi dengan dua had.



[1]Manna’ al Qaththan, Mabahits fii Ulum al Qur’an, Riyadh, Manshurah al ‘Ashr al Hadits,  cet. 3, 1411 H/1990 M, hal. 379.
[2]Ibn al ‘Arabi, Ahkam al Qur’an (Tahqiq dan Ta’liq oleh Muhammad ‘Abd al Qadir ‘Atha), Beirut, Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, jld. 3, hal. 12.
[3]Ibid.
[4]Ibid. hal. 13
[5]Muhammad Sayyid Husein adz Dzahabi, at Tafsir wa al Mufassiruun, Kairo, Maktabah Wahbah, jilid 2, hal. 331 (Maktabah Syamilah).
[6]Manna’ al Qaththan, Mabahits fii Ulum al Qur’an, hal. 379.
[7]Ibid.
[8]Ibn al ‘Arabi, Ahkam al Qur’an (Tahqiq dan Ta’liq oleh Muhammad ‘Abd al Qadir ‘Atha), hal. 13.
[9]Muhammad Sayyid Husein adz Dzahabi, at Tafsir wa al Mufassiruun, jld. 2, hal. 331.
[10]Ibid, hal. 336.
[11]Ibid.
[12]Manna’ al Qaththan, Mabahits fii Ulum al Qur’an, hal. 380.
[13]Ibid.
[14]Ibid.
[15]Muhammad Sayyid Husein adz Dzahabi, at Tafsir wa al Mufassiruun, jld. 2, hal. 336.
[16]Ibn al ‘Arabi, Ahkam al Qur’an, hal. 340.
[17]AlQurthubi, al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an, Beirut, Muassasah ar Risalah, cetakan pertama, thn. 2006 M/ 1427 H, jld. 15, hal. 122.
[18]Ibn al ‘Arabi, Ahkam al Qur’an, hal. 340.
[19]AlQurthubi, al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 122.
[20]Ibn al ‘Arabi, Ahkam al Qur’an, hal 341 dan 343.
[21]Al Qurthubi, al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 123.
[22]Ibn al ‘Arabi, Ahkam al Qur’an,  hal. 341 dan  Al Qurthubi, al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 124.
[23]Ahkam al Qur’an,  hal. 342. al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 124
[24]Ahkam al Qur’an,  hal. 342.
[25]al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 127.
[26]Ahkam al Qur’an,  hal. 343.
[27]al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 128.
[28]Ahkam al Qur’an,  hal. 343.
[29]al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 130.
[30]Ibid,hal. 131.
[31]Ahkam al Qur’an,  hal. 344.
[32]al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 131.
[33]Ahkam al Qur’an,  hal. 345.
[34]al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an,hal. 133.
[35]Ahkam al Qur’an,  hal. 346.
[36]Al Qurthubi, al Jami’ Li Ahkaam al Qur’an, Beirut, Muassasah ar Risalah, cetakan pertama, thn. 2006 M/ 1427 H, jld. 15, hal. 6.
[37]Untuk lebih lengkapnya, lihat langsung kitabal Jami’ Li Ahkaam al Qur’an, karya al Qurthubi, Beirut, Muassasah ar Risalah, cetakan pertama, thn. 2006 M/ 1427 H, jld. 15, hal. 125-129.
[38]Maksudnya: bahwa hadnya menjadi hak Allah Swt pada hari kiamat, kecuali jika ia tidak mengada-ada; yakni memang hamba sahanya sebagaimana ia tuduhkan, yaitu telah berzina.

1 komentar:

  1. Bet Online Casino - KADG PINTAR
    This casino is a top choice for beginners or professional players! The game is simple and 메리트 카지노 고객센터 straightforward 제왕 카지노 with kadangpintar lots of ways to win.

    BalasHapus