This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 21 Oktober 2015

Hadits Nabi Dalam Sorotan: Sebuah Pengantar Menjelajah Pemikiran G.H.A Juynboll Tentang Otentisitas Hadits



Pengantar
               
“Kenali Musuhmu” (Know your Enemies) adalah semboyan dari missionaris di balik kegigihan mereka dalam mengkaji Islam beserta seluk beluknya dari segala aspek. Adalah naive apabila kita bersangka baik dan menelan mentah-mentah apa yang dikatakan oleh orang-orang yang tak kan pernah ridha dan senantiasa memusuhi kita. Lebih celaka lagi jika kita mengamini seraya meniru-niru (parroting) melakukan apa yang mereka kerjakan, seperti menghina Rasulullah saw, memburuk-burukkan para Sahabat dan Tabi’in, meremehkan para ulama salaf, meragukan otoritas dan otentisitas tradisi keilmuan Islam, lalu mau membuat critical edition of al-Quran, menolak hadits (inkar al-sunnah), membuat tafsir dan hukum sendiri mengikuti hawa nafsu yang sesat dan menyesatkan. Demikian kurang lebih apa yang pernah disampaikan oleh Dr. Syamsuddin Arif dalam buku “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”.[2] Nama-nama seperti Ignas Goldziher, Alois Sprenger, Sir William Muir, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll adalah termasuk bagian di dalamnya.

Jumat, 06 Februari 2015

Al Qur'an, Berbicara Tentang Penciptaan Alam Semesta

Pendahuluan: Al-Quran Dan Sains
Di antara salah satu dari sekian kemukjizatan al-Quran, adalah fakta bahwa kitab suci umat Islam ini juga menjadi sumber ilmu pengetahuan. Al-quran memuat pengetahuan di masa lampau maupun di masa yang akan datang. Para ahli, baik dari kalangan muslim maupun non muslim, berlomba untuk mengkaji dan menggali sumber-sumber ilmu pengetahuan dalam Al-Qur'an.
Mengenai hubungan al-Quran dan ilmu pengetahuan, ada dua pendapat yang berlainan.[1]
1)        Pertama, anggapan bahwa al-Quran tidak

Minggu, 12 Oktober 2014

KONSEP TUHAN

Pendahuluan: Kepercayaan Terhadap Tuhan
                Karen Amstrong dalam bukunya yang bertajuk “SEJARAH TUHAN: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4.000 Tahun” mengutip teori Wilhelm Schmidt pada tahun 1912 M yang menyatakan bahwa sejak dahulu telah ada suatu monotesme primitif sebelum manusia mulai menyembah dewa.[1] Menurut teori ini, manusia pada awalnya mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi yang telah menciptakan dunia dan menata urusain manusia dari kejauhan. Namun ternyata, Dia dirasa tidak pernah hadir secara langsung dalam keseharian manusia, ada yang mengatakan bahwa Dia tidak bisa diekspresikan dan tidak dapat dicemari oleh dunia manusia, ada juga yang mengatakan bahwa Dia telah pergi. Maka mulailah terjadi penyimpangan, Tuhan tersebut digantikan oleh ruh-ruh yang lebih rendah dan tuhan yang lebih mudah dijangkau, hingga lebih jauh lagi digantikan oleh tuhan-tuhan pagan yang lebih menarik.[2]
                Dari teori Schmidt di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan manusia terhadap keberadaan Tuhan telah ada sejak dahulu manusia ada, hadir dan menjelma sebagai keyakinan yang tidak diragukan. Singkatnya, ini berarti kepercayaan terhadap Tuhan adalah fitrah; sesuatu yang natural dan alami.
Terhadap kenyataan seperti ini, ada pernyataan menarik dari Prof. Nurcholis Madjid sebagaimana dikutip oleh Dr. Nashruddin Syarif dalam bukunya “Menangkal Virus Islam Liberal”, bahwa percaya kepada suatu “tuhan” adalah hal yang dapat dikatakan taken for granted pada manusia, sepenuhnya manusiawi, sehingga sebenarnya usaha mendorong manusia untuk percaya kepada Tuhan adalah tindakan berlebihan. Tidak didorong pun manusia telah percaya kepada Tuhan.[3]
Demikian pula dalam pandangan Islam, kepercayaan terhadap Tuhan adalah fitrah, pasti ada dalam diri manusia sepanjang manusia tersebut tetap dalam fitrahnya. Pernyataan ini ditegaskan dalam al-Quran dari jauh-jauh hari bahkan berabad-abad sebelum munculnya pernyataan Schmidt di atas. Meskipun tentu berbeda Tuhan yang dimaksud oleh Islam dan tuhan-tuhan yang dipahami oleh selainnya. Ini akan kita bincangkan pada pembahasan selanjutnya.

Konsep Tuhan Dalam Agama-agama Dan Kepercayaan Di Dunia
                Perlu dipahami bahwa pembicaraan Tuhan dan agama tak dapat dipisahkan, ketika berbicara tentang agama maka tidak bisa tidak kita akan berbicara tentang Tuhan, demikian juga sebaliknya ketika berbicara tentang Tuhan maka mestilah kita juga berbicara tentang agama, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, termasuk ketika kita membicarakan tentang golongan yang katanya tidak percaya kepada Tuhan (ateisme), ketidak percayaan mereka terhadap Tuhan ini justru juga menjadi agama atau kepercayaan baru yang mendorong mereka untuk percaya kepada tuhan yang lebih rendah, baik dalam bentuk materi atau pun pemimpin-pemimpin tirani yang otoriter. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Adian Husaini, konsep Tuhan merupakan konsep pokok atau yang paling mendasar dalam setiap agama. Dari konsep Tuhan inilah kemudian dijabarkan konsep-konsep lain seperti konsep tentang manusia, kenabian, wahyu, alam, dan sebagainya[4]. Jadi, mau tidak mau antara Tuhan dan agama, mestilah keduanya kita bicarakan.
                Setiap agama dan kepercayaan punya konsep yang berbeda tentang tuhan, berikut beberapa di antaranya. [5]
                Pertama, Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani. Sebagai contoh, menurut Aristotle, Tuhan adalah “Unmoved Mover”; penggerak yang tidak bergerak. Tuhan Aristotle adalah Tuhan filsafat, Tuhan yang ada dalam pikiran, karena ia harus ada secara logika sebagai penggerak alam semesta yang senantiasa berada dalam keadaan bergerak dan berubah. Karena itu tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Aristotle menyembah Tuhan yang dikonsepsikannya. Tuhan Aristotle hanya tahu dirinya sendiri, dan tidak paham apa yang ada di luarnya.
                Kedua, Tuhan Dalam Agama Budhisme dan Hinduisme. Nama Tuhan dalam Budhisme tidak jelas, Budha tidak menyebut nama Tuhannya dengan sebutan tertentu. Umat Budha meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal dengan sebutan “Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkatam”, yang artinya: Sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan dalam agama Budha adalah Anatam (Tanpa Aku), sesuatu yang tidak berpribadi, sesuatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Demikian Hinduisme, Hindu Bali menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai “Ida Sang Hyang Widhi Wasa” atau “Brahman”. Di antara sekian banyak gelar Sang Hyang Widhi, ada 3 yang paling terkenal yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa yang sohor dengan sebutan Trimurti.
                Ketiga, Tuhan dalam agama Yahudi-Kristen. Dalam tradisi Yahudi-Kristen, nama Tuhan masih diperdebatkan. Kaum Yahudi hingga kini, masih belum menemukan dan hanya berspekulasi tentang nama Tuhan mereka. Tetagram; kata nama yang paling penting dalam Perjanjian Lama tertulis dengan 4 huruf tanpa huruf vokal, yaitu YHWH, yang ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam PL. Seperti yang disebutkan oleh Dr. D. L. Baker, “... nama tersebut mungkin dulu diucapkan “Yahweh”...” artinya, ini hanya sebuah spekulasi saja bukan?. Pada giliran selanjutnya, spekulasi ini berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang beragam sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Mengikuti cara kebiasaan Yahudi, tetagram (YHWH) diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai “Kyrios” (Tuhan), diikuti juga oleh Yesus dan para rasul-Nya yang biasanya melafalkan Yahwe dengan Adonai (TUHAN) atau ha shem (Nama segala nama). Di Timur Tengah, kaum Kristen menyebut “Alloh”, sama dengan di Indonesia yang melafazkan nama Tuhannya menjadi “Allah”; di Barat dengan “God” atau “Lord”.
                Keempat, konsep Tuhan dalam pluralisme agama. Sebagai contoh, apa yang diucapkan oleh Nurcholis Madjid bahwa ibarat roda, setiap agama adalah ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama; pusat roda adalah Tuhan, dan jari-jari adalah jalan dari berbagai agama. Konsep ini adalah keliru.

Bagaimana dikatakan sama Tuhan dalam setiap agama tersebut, sedang nama Tuhannya saja tidak jelas, hanya Islam yang jelas?. Apakah mau kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain menyebut Tuhannya dengan sebutan “Allah” atau sebaliknya?. Jadi, tentu tidak sama.
Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan “Allah” sama dengan orang Islam, namun perlu dicatat, ketiganya punya konsep yang berbeda. Bagi kaum Musyrik, Alloh adalah nama salah satu Tuhan mereka di samping Tuhan Latta, Uzza, Hubbal, dsb. Karena itu mereka telah melakukan syirik. Demikian kaum Kristen yang mengangkat nabi Isa  sebagai Tuhan. Jadi, kendati sama menyebut Alloh, namun yang dimaksud berbeda. Karena itu lah  Nabi Muhammad saw menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian (QS. al-Kafirun).

ISLAM: Konsep Tuhan Yang Sebenarnya; Tuhan=Fitrah=Tauhid
Dalam pembahasan sebelumnya telah kita singgung bahwa kepercayaan terhadap Tuhan adalah fitrah; satu hal yang natural, termasuk dalam ajaran Islam, sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat-ayat al Quran berikut ini:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar Rum: 30)

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. al A’rof: 172)
Kedua ayat di atas sangat jelas menegaskan bahwa percaya kepada Tuhan adalah fitrah, sudah ada bahkan sejak manusia hendak diciptakan. Namun yang menarik adalah hakikat dari fitrah itu sendiri, menurut Dr. Nashruddin Syarif, fitrah yang dimaksudkan di sini adalah tauhid; yakni penegasan bahwa manusia secara alami percaya kepada satu Tuhan, dan Tuhan tersebut adalah Alloh swt. Ini tentu berbeda dengan teori keagamaan lainnya, di mana al Quran tidak membenarkan kepercayaan kepada Tuhan sebagai sesuatu yang manusiawi dan kepercayaan kepada sembarang Tuhan. Artinya, dalam agama Islam orang yang percaya kepada Tuhan selain Alloh dikategorikan melenceng dari fitrah. [6] Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw berikut ini.

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ...
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tua nya lah yang menjadikannya Yahudi, Nashroni atau Majusi... (Muttafaq alaih)
               
Selanjutnya, konsep Islam tentang Tuhan sangat unik dan khas, karena al-Quran sebagai kitab suci umat Islam menyebut secara jelas nama Tuhan yaitu الله. Kata الله tidak boleh diucapkan sembarangan, harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw yakni “Allah”. Jadi, umat Islam seluruh dunia dari dulu hingga kini dan sampai hari kiamat tidak berbeda pndapat dan sepakat bahwa nama Tuhan mereka adalah “Allah”. Dengan demikian nama “Allah” ini bersifat final dan otentik, karena umat Islam menyebutnya dengan lafal yang sesuai dengan apa yang ada dalam al-Quran dan langsung diajarkan oleh Rasulullah saw dan bukan dengan melakukan ‘spekulasi filosofis’ seperti yang terjadi atau dilakukan dalam agama lain.[7]
Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, tegasnya Tuhan—Alloh—sendiri yang memperkenalkan dirinya sehingga tidak memberi kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal.[8]
                Di dalam al Quran, Alloh Swt berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ...
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah... (QS. Muhammad: 19)
                Makna kalimat “Ilah” dalam ayat di atas, menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah adalah Yang disembah serta ditaati, ilah adalah ma’luh (tempat berlindung), dan ma’luh adalah yang berhak untuk disembah.[9] Sedang menurut al Zamakhsyari, Ilah adalah ismul jinsi (nama jenis); seperti kalimat kaki atau kuda, yaitu setiap yang disembah baik itu yang hak atau pun batil, kemudian dikalahkan atau disingkirkan oleh sembahan yang hak.[10] Jadi makna dari kalimat “Laa ilaaha illa-Alloh” adalah tiada sembahan yang disembah dengan hak kecuali Alloh. Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh menegaskannya dengan kalimat “Laa Ma’buda bi haqqin illa-Alloh”, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Alloh.[11]
                Dari konsep ini, Islam tidak membenarkan konsep-konsep ketuhanan lain yang mengakui tuhan lebih dari satu, juga tidak membenarkan konsep ketuhanan yang mengatakan Alloh mempunyai istri dan anak, Tuhan orang Islam jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (QS. al-Ikhlas: 1-4). Malah dengan tegas orang yang menyebut bahwa Alloh mempunyai anak seperti Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair anak Alloh dan Kristen yang mengatakan bahwa Nabi Isa adalah Alloh sebagai KAFIR.[12] Konsep ketuhanan dalam Islam memang tidak mentolelir kemusyrikan (menyekutukan Tuhan—Alloh--dengan selain-Nya)
                Dalam khazanah Islam, ada pembahasan mengenai konsep Tuhan yang disebut dengan ilmu kalam. Dalam ilmu ini Tuhan dikonsepsikan sebagai yang secara Zat tidak bisa dikenal karena ia berbeda dengan apapun. Maka tentang hal ini tidak ada kata apapun yang mampu mendeskripsikan-Nya karena apapun yang kita deskripsikan pasti tak kan sama dengan-Nya. Pada level ini Tuhan tidak bisa dikatakan memiliki sifat apapun, tidak ada sifat apapun yang bisa dinyatakan positif, bahkan tidak pula sifat wujud. Oleh sebab itu, maka sifat-sifat ALloh kemudian ditolak. Kelompok yang berpendapat seperti ini antara lain Jahmiyah, Mu’athilah, Mu’tazilah, dan sebagian besar filosof seperti Ibn Sina.[13]
                Seorang ulama bernama Ibn Arobi memilih untuk menggabungkan pendapat para ahli kalam dan para ulama ahli tauhid--yang dapat diwakili oleh Ibn Taimiyyah atau al Ghazali--, dengan memahami konsep Tuhan di atas seperti berikut. Menurut Ibn Arobi, pendapat para ahli kalam benar jika Tuhan ditinjau dari segi Zatnya saja. Tapi menurutnya Tuhan juga memiliki aspek lain yaitu sifat, sehingga sifat-sifat Alloh seperti hidup, melihat, dan sebagainya adalah benar. Jadi, baik pandangan para ahli kalam atau pun para ulama lain semisal al Ghazali adalah sama benarnya.[14]
                Pandangan Ibn ‘Arobi ini tak lepas dari kritikan. Menurut Ibn Taimiyyah, Konsep Tuhan yang diajarkan oleh al Quran, Hadits, dan kemudian diamalkan oleh para sahabat dan tabi’in itu juga mengajarkan konsep Tuhan dalam asma wa shifat (nama dan sifat). Artinya, nama dan sifat Alloh Swt tidak dapat dipisahkan, nama apa saja yang Alloh sebutkan; termasuk Alloh sebagai zat, dan sifat apa yang Alloh sebutkan mutlak harus diimani.[15] Jadi, menurut pandangan ini, pendapat Ibn ‘Arobi adalaah keliru.



[1] Karen Amstrong, SEJARAH TUHAN: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4.000 Tahun, Bandung, Penerbit Mizan, cet. 6, thn. 2002, hal. 27 (alih bahasa: Zaimul Am).
[2] Ibid, hal. 28
[3][3] Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal: Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Dakwah, Bandung, Persis Press, cet. 3, thn. 2013, hal. 82.
[4] Dr. Adian Husaini, Islam Agama Wahyu: Bukan Agama Budaya Dan Sejarah, Jakarta, INSIST, cetakan pertama, thn. 2011 M, hal. 11.
[5] Poin pertama sampai keempat disarikan dari buku Dr. Adian Husaini, Islam Agama Wahyu: Bukan Agama Budaya Dan Sejarah, hal. 12-47.
[6] Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal: Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Dakwah, hal. 88
[7]Dr. Adian Husaini, Islam Agama Wahyu: Bukan Agama Budaya Dan Sejarah, hal. 18
[8] Ibid.
[9] Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fath al Majid: Syarah Kitab al Tauhid, Kairo, Dar al Ghad al Jadid, cetakan pertama, thn. 2007 M/1426 H, hal. 48-49.
[10] Ibid, hal. 48.
[11] Ibid, hal. 47.
[12]QS. al Maidah: 17.
[13] Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal: Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Dakwah, hal. 100
[14] Ibid, hal. 101
[15] Ibid. Mengutip dari Muhammad bin Shalih al Utsaimin, al Qaul al Mufid Wa Fath al Majid fi Syarh Kitab al Tauhid, (editor: ‘Adil ibn Sa’ad), Kairo, Dar Ibn al Haitsam, 2003, hal. 17-20.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Resume 3 Kitab Tafsir: Aliran Tafsir Bi Al-Ma’tsur, Tafsir Bi Al Ra’y, Dan Tafsir Menyimpang

Tafsir Al-Thabari



     A.   Biografi Penulis
Namanya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabari, ia berasal dari  Thabrastan, lahir pada tahun 224 H. Ia rihlah ke berbagai negri dalam mencari ilmu ketika usianya 12 tahun yaitu pada tahun 236 H, di antaranya ke Mesir, Syam, dan Iraq. Ia menetap di Baghdad hingga wafatnya pada tahun 310 H.[1]
            Ibn Jarir al-Thabari adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkatan Mujtahid Muthlaq. Dalam pandangan al Khatib al Baghdadi, beliau adalah salah satu Imam dari orang-orang yang berilmu, ia menghukumi dengan perkataannya dan merujuk kepada akalnya untuk mengenalnya dan keutamaannya, ia mengumpulkan ilmu-ilmu dan tidak ada yang menyamainya pada masanya, hafal kitabullah, Bashir terhadap al Quran, memahami makna dan hukum al Qur’an, ‘alim terhadap sunnah dan jalan periwayatannya, shahih dan lemahnya, nasikh mansukhnya, paham terhadap perkataan sahabat dan tabi’in dalam permasalahan hukum dan permasalahan halal dan haram, bijaksana terhadap pengalaman manusia dan khabar-khabar mereka.[2]
B.   Biografi Kitab
Kitab Jami’ al Bayan ‘An Ta’wil al Qur’an yang ditulis oleh bapak tafsir (Abu at Tafsir) ini, dinilai sebagai literatur penting baik dalam tafsir bil ma’tsur ataupun tafsir bil ra’yi karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari yang lebih kuat, disamping memuat istinbath dan wajah-wajah i’rab. Karena itu kitabnya merupakan kitab paling agung, paling shahih, dan paling lengkap karena memuat pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in. Banyak ulama menilai tafsir ini sebagai yang tiada duanya di bidang tafsir.[3]
Metodenya dalam kitab ini juga dianggap sebagai dasar bagi semua jenis tafsir karena adanya metode khas yang memadukan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi disertai dengan pemilihan pendapat yang terkuat. Imam as Suyuthi berkata, “Kitab Ibn Jarir kitab tafsir paling agung. Kitab itu memaparkan pemilihan berbagai pendapat, i’rab dan istinbath (pengambilan dalil dari al Quran dan hadis). Dengan karakterisik inilah kitab ini mengungguli kitab-kitab tafsir klasik.[4]
Begitu pula bagi Ibn Taimiyyah, ia berkata: “Adapun kitab-kitab tafsir yang berada di tangan masyarakat, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad bin Jarir al-Thabari. Kitab ini menuturkan pendapat kaum salaf dengan sanadnya, tidak memuat bid’ah dan tidak mengutip dari orang-orang yang tertuduh dusta.”[5]
C.   Metode Tafsir
Dalam menafsirkan al Qur’an, metode yang ditempuh Imam al-Thabari dalam kitabnya sebagaimana yang telah dirangkum oleh Dr. Yunus Hasan Abidu dalam karyanya yang berjudul “Tafsir al Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir” mencakup 12 langkah. Berikut poin-poinnya secara ringkas:[6]
1)       Mengawali penafsiran dengan mengatakan: “Pendapat tentang takwil firman Allah” begini.
2)       Menafsirkan ayat dengan menguatkan pendapatnya dengan sanadnya sendiri, baik dari sahabat maupun tabi’in.
3)       Menyimpulkan pendapat umum dari nash dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
4)       Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dari Rasulullah saw, sahabat dan tabi’in berikut dengan sanad-sanadnya mulai dari yang paling kuat dan paling shahih.
5)       Menguatkan pendapat yang dipilihnya dengan alasan-alasannya.
6)       Menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
7)       Melanjutkan dengan menjelaskan qira’at-qira’atnya, kemudian memilih qira’at yang kuat dan mengingatkan qira’at yang tidak benar.
8)       Menyertakan sya’ir-sya’ir untuk menjelaskan dan mengukuhkan makna nash.
9)       Menuturkan i’rab pendapat para ahli nahwu untuk menjelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan i’rab.
10)  Memaparkan pendapat-pendapat fikih ketika menjelaskan ayat hukum, mendiskusikan dan menguatkan yang menurutnya benar.
11)  Kadang-kadang menuturkan pendapat para ahli kalam dan menjuluki mereka dengan ahli jadaal (ahli teologis dialektis), mendiskusikannya, dan kemudian condong kepada pendapat ahlu sunnah wal jama’ah.
12)  Memberikan tempat yang tinggi kepada ijma’ umat ketika memilih suatu pendapat.
D.  Contoh Penafsiran
Tafsir QS. al-Kautsar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (3)

Dalam menafsirkan surah ini, al-Thabari memulai penafsirannya dengan kalimat “Al qaul fii takwili qaulihi” (pendapat tentang takwil firman-Nya), sebagaimana yang sering beliau lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat lainnya.[7] Lalu ia menyebutkan perbedaan-perbedaan endapat mengenai al-Kautsar, yaitu:
1)     Sungai di syurga yang diberikan Alloh swt kepada Nabi Muhammad saw.
2)     Kebaikan yang banyak.
3)     Kolam yang diberikan kepada Nabi saw di surga.
Dan yang benar menurut al-Thabary adalah pendapat yang mengatakan bahwa al-Kautsar adalah nama untuk sungai di Surga yang oleh Allah swt berikan kepada Nabi saw. Allah swt menyifatinya dengan “Katsroh” yang bermakna banyak,  karena keagungan/kebesaran/melimpahnya kandungan sungai tersebut.[8]
            Selanjutnya, al-Thabari menyebutkan riwayat-riwayat yang mengisahkan tentang al-Kautsar tersebut. Salah satunya sebuah hadits dari Anas bin Malik yang mengatakan bahwa, “Ketika Nabi saw di mi’rajkan, di dalam surga—atau seperti Anas berkata—Surga diperlihatkan kepada Nabi saw. kedua tepi sungainya adalah yaqut (sejenis batu mulia,--penj) yang melekuk, lalu Malaikat yang sedang bersama beliau memukul lekukan tersebut sehingga keluar lah minyak kasturi. Nabi Muhammad bertanya kepada Malaikat yang bersamanya tersebut, “Apa ini?” ia menjawab, “Ini adalah al-Kautsar yang Allah berikan kepadamu”... (HR. Abu Dawud).[9]
            Dalam riwayat lain yang diketengahkan al-Thabary disebutkan, kedua tepi sungai tersebut adalah kubah mutiara yang melekuk, tanahnya adalah minyak kasturi, yang lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, di dalamnya ada burung yang lehernya seperti leher unta.[10]
            Kemudian dilanjutkan dengan penafsiran فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ, menurut al-Thabari, ada yang berpendapat bahwa makna وَانْحَرْ adalah:[11]
1)  Dorongan agar teratur dalam shalat wajib serta menjaga waktu-waktunya. Alasannya adalah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa makna “وَانْحَرْ” adalah:
a)     Menyimpan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.
b)     Mengangkat tangan pada awal dibacakan takbir dalam iftitah.
c)      Shalat shubuh dan menyembelih sembelihan pada hari adha.
d)     Nabi saw menyembelih sebelum shalat, lalu beliau diperintah untuk shalat baru kemudian menyembelih.
2)  Satu kaum shalat dan menyembelih bukan karna Allah, maka dikatakan “Jadikanlah shalat dan sembelihanmu karena Allah, karena ketika itu orang kafir menjadikannya bukan karena Allah”.
3)  Ayat ini turun pada hari Hudaibiyyah ketika Nabi saw dan para sahabatnya dikepung. Maka Allah swt memerintahkan beliau untuk shalat, berkurban, lalu berpaling. Lalu beliau mengerjakannya.
Makna yang benar menurut al-Thabary adalah menjadikan shalat dan sembelihan ikhlas karena Allah sebagai rasa syukur terhadap kemuliaan dan kebaikan yang sepadan dan sebagai syukur kepada yang telah memberikan al-Kautsar hanya kepada beliau.[12]
            Terakhir, makna  إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُmenurut al-Thabary, sebagai berikut:[13]
1)  Musuh Nabi yang Allah swt maksudkan adalah al-‘Ash bin Wail al-Sahmi. Sedangkan “al Abtar” maknanya adalah kerendahan dan kehinaan.
2)  Musuh Nabi yang Allah swt maksudkan adalah Uqbah bin Mu’ith.
3)  Musuh Nabi yang Allah swt maksudkan adalah sekelompok orang-orang Quraisy.
Yang benar menurut al-Thabary, makna ayat tersebut adalah musuh Nabi yang paling rendah paling hina, yang terputus keturunannya. Sifat ini merupakan sifat orang-orang yang membenci beliau siapa pun orangnya, sekalipun ayat tersebut turun berkenaan orang tertentu.[14]



*****


Tafsir Al-Baidlawi


     A.   Biografi Penulis
Namanya adalah Nashiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin ‘Ali al-Syirozi al-Syafi’i al-Baidlawi. al-Baidlawi ini adalah nisbat kepada Baidla’; nama salah satu negri di Persia.tidak ada sumber yang menyebutkan tahun kelahirannya.[15]
Para ulama berkata mengenai keunggulan beliau. Al-Suyuthi berkata, “Beliau adalah Imam yang banyak ilmunya, menguasai fikih, ashlain, bahasa Arab, dan ilmu mantiq. Beliau adalah orang yang pandai, shaleh, ahli ibadah, dan seorang Syafi’iyyah.” Ibn Qadli Syuhbah dalam kitab Thabaqohnya, “Banyak karyanya, ‘alim Azerbaijan, dan Syaikh di daerah tersebut.” Al-Subki berkata, “Beliau adalah Imam cemerlang, pandai, baik, shaleh, dan ahli ibadah.”[16]
Menurut al-Subki dan al-Isnawi, beliau wafat pada tahun 691 H. Sedangkan menurut Ibn Katsir dan ulama lainnya, beliau wafat pada 685 H.[17]
B.   Biografi Kitab
Tafsir ini diberi nama oleh pengarangnya dengan Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Takwil, namun lebih dikenal dengan nama tafsir Baidlawi. Kitab tafsir ini menggabungkan antara tafsir dan takwil menurut kaidah-kaidah bahasa Arab, lalu memberi keputusan dengan dalil-dalil pokok ahlu sunnah.[18]
Kitab tafsir ini adalah ringkasan dari tafsir al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari, namun, dalam tafsir ini al-Baidhlawi telah menghilangkan ke’i’tizalannya (paham muktazilahny,--penj.), sekalipun dalam beberapa penafsiran, al-Baidlawi juga merujuk pendapat—atau sependapat—dengan al-Zamakhsyari dalam al Kasyaf.[19]
C.   Metode Tafsir
Langkah-langkah yang beliau lakukan dalam menyusun kitab sekaligus menafsirkan ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:[20]
1)  Meringkas Penafsiran dari kitab tafsir al-Kasyaf karya al-Zamaksyari dengan menghilangkan paham-paham mu’tazilahnya.
2)  Mengambil penafsiran dari tafsir al-Kabir (Mafaatih al-Ghaib) karya Fachru al-Razi dan tafsir al-Raghib al-Ashfahani.
3)  Kadang-kadang menganggap penting penyebutan qira’at-qira’at, akan tetapi ia tidak mensyaratkan mutawattir, sehingga ia menyebut qiraat yang syadz (janggal).
4)  Menyajikan pembahasan nahwu secara ringkas.
5)  Menyajikan beberapa pembahasan fikih dalam ayat-ayat hukum dengan tidak bertele-tele.
6)  Mengakui, menetapkan, atau mentarjih (menguatkan) pendapat ahlu sunnah.
7)  Sedikit sekali menyebut riwayat israiliyyat serta menyebut sumber riwayat dengan lafadz “Ruwiya” atau “Qiila” sebagai isyarat untuk memberitahukan kedla’ifannya.
8)  Ketika menafsirkan ayat-ayat kauniyyah, beliau sama sekali tidak menyimpang dari pembahasan tentang kaun dan al-thabi’ah (alam semesta).
D.  Contoh Penafsiran
Tafsir QS. al-Kautsar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (3)

            Menurut al-Baidlawi, ada yang membaca  dengan إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ dengan انا أنطيناك.[21]
            Makna al-Kautsar adalah kebaikan yang terlampau banyak berupa ilmu, amal, dan kemuliaan 2 rumah. Ia juga mengutip sebuah riwayat dengan lafaz “Ruwiya” (diriwayatkan; isyarat kedla’ifan), yang menyebutkan bahwa, “al-Kautsar adalah sungai di surga dan ‘adn-nya Tuhanku yang memiliki banyak kebaikan; lebih manis dari madu, lebih putih dari susu, lebih dingin dari salju, lebih halus dari buih. Dua tepi sungainya adalah batu permata, bejananya terbuat dari perak yang minumannya tidak akan membuat haus”. Kemudian ia juga mengutip pendapat dengan lafadz “Qiila” (dikatakan. isyarat kedla’ifan) bahwa al-Kautsar adalah telaga, anak, pengikut, ulama umat, atau al Quran.[22]
            Makna “فَصَلِّ لِرَبِّكَ” menurut al-Baidlawi adalah mendahulukan shalat dengan ikhlas karena Allah swt. yang sekaligus menyalahi atau menentang orang-orang munafik sebagai syukur nikmat-nikmat-Nya. Karena shalat itu mencakup atau menghimpun semua macam syukur. Sedang “وَانْحَرْ” adalah sembelihan/kurban; yaitu harta pilihan dan sedekah kepada orang-orang miskin; sebagai penentang terhadap orang yang menelantarkan mereka dan menghalangi hak zakat untuk mereka. Surat ini seperti surat yang sebelumnya (QS. al-Ma’un,--penj), ditafsirkan shalat di sini dengan shalat ‘ied dan “al-Nahru” dengan kurban.[23]
            “إِنَّ شَانِئَكَ” maknanya, sesungguhnya di antara adalah orang yang benci terhadap Nabi Muhammad saw pasti Allah pun benci kepada mereka. “هُوَ الْأَبْتَرُ” maknanya, dialah orang yang tidak punya penerus, karena tidak memiliki anak/keturunan dan tidak memiliki anak-laki yang baik. Sedangkan kamu (Muhammad), masih tersisa keturunanmu, reputasi baikmu, dan atsar/pengaruh keutamaanmu sampai hari kiamat. Untukmu (Muhammad) apa yang ia (al-abtar) tidak termasuk  kepada pensifatan tersebut.[24]
            Sebagai penutup tafsir QS. al-Kautsar ini, al-Baidlawi mengutip sebuah riwayat dari Nabi saw, “Barang siapa yang membaca (surah) al-Kautsar, niscaya Allah memberinya kesegaran dari semua sungai di surga serta mencatat untuknya sepuluh kebaikan dari setiap kurban/sembelihan hamba pada hari Nahr (adha)yang agung”.[25]
           


*****



Tafsir Al-Thabarsi


     A.   Biografi Penulis
Namanya adalah Abu ‘Ali al Fadhl bin Hasan bin al Fadhl ath Thabarsi al Masyhadi.[26] Dalam pandangan orang Syi’ah, nama inilah yang telah menulis kitab Majma’ al Bayan fii Tafsir al Qur’an. Ia berasal dari keluarga orang yang berilmu; anaknya Ridho ad Din Abu Nashr Hasan bin Fadhl yang berakhlak mulia, cucunya Abu Fadhl ‘Ali bin Hasan, dan seluruh silsilah keluarga dan kerabatnya menjadi pembesar-pembesar ulama. Banyak ulama meriwayatkan darinya[27], diantaranya seperti anakanya sendiri, Ibn Syahr Asywab, Syaikh Muntakhob ad Din, al Quthb al Rawandi, dan sebagainya. Sedangkan dia sendiri meriwayatkan dari Syaikh Abi ‘Ali bin asy Syaikh ath Thusi.[28]
Syaikh Muntakhob dalam al Fihris mengatakan bahwasannya ia ini tsiqoh. Beberapa di antara karyanya adalah Majma’ al Bayan fii Tafsir al Qur’an, al Wasith fii at Tafsir, al Wajiiz, I’lam al Waraa bi A’lam al Hudaa, Taaj al Mawaalid wa al Adaabi ad Diniyyati li al Khazanah al Mu;iibah, dan sebagainya.[29]  Ia memang memiliki banyak karya termasuk dalam bidang fikih dan kalam, karna keluasan ilmunya, sebagian ulama sampai mengatakan bahwa ia sudah mencapai tingkat Mujtahid. Ia wafat pada malam ‘idhul qurban tahun 538 H.[30]
B.   Biografi Kitab
Kitab tasfir ini bernama Majma’ al-Bayan Fii Tafsir al Qur’an. Kitab ini ia tulis ketika usianya menginjak 60 tahun. Mengenai metode yang ia gunakan dalam kitabnya, ringkasnya seperti yang ia uraikan sendiri. Ia berkata, “Saya memulai menulis sebuah kitab yang sangat ringkas, padat, sistematika yang baik, yang memuat jenis-jenis ilmu ini, memuat sumber-sumbernya, seperti ilmu qira’at, i’rab, bahasa, makna-makna peliknya, problematikanya, makna-maknanya, segi-seginya, turunnya, sejarahnya, kisah-kisahnya, kebaruan-kebaruannya, hukum-hukumnya, mengkaji tuduhan-tuduhan negatif dan saya akan menuturkan pendapat-pendapat yang khas dari rekan-rekan saya dalam menggali hukum di berbagai tempat sesuai dengan apa yag mereka yakini, baik ushul, furu’, ma’qul maupun masmu’nya.[31] Dalam cetakan Dar al ‘Ulum Beirut kitab ini diterbitkan tidak kurang dari 10 jilid.
C.   Metode Tafsir
Metode yang ditempuh oleh ath Thabarsi mencakup 7 langkah, berikut poin-poinnya secara ringkas:[32]
1)  Memulai penafsiran dengan menyebutkan turunnya dan ayat-ayatnya, kemudian qira’ah-qira’ahnya, bahasa, i’rab dan munasabah antar ayat.
2)  Menyebutkan asbab an nuzul, makna-makna, dan takwil-takwilnya.
3)  Menyebutkan kisah-kisah mutasyabih dan musykil-musykilnya.
4)  Dalam muqaddimah tafsirnya, ia juga memulai tafsirnya dengan memberi pengantar dengan sebagian ilmu al Quran. hal yang dipaparkan mencakup 7 hal yakni; jumlah ayat al Quran, para Qari’ yang masyhur, makna tafsir, takwil dan hukum tafsir bil ra’yi, nama-nama al Qur’an, kemukjizatan al Qur’an, penambahan dan pengurangannya, khabar-khabar berkenaan dengan keutamaan al Quran dan ahlinya, anjuran memperbaiki pengucapan dan memperindah membacanya. Kemudian memulai tafsirnya dengan membicarakan isti’adzah dan basmalah.
5)  Memaksimalkan semua segi yang dibicarakannya.
6)  Menyebutkan hadis-hadis, namun tidak terlepas dari hadis-hadis maudhu’, khusunya dalam rangka membela madzhabnya dan akidahnya,  di samping kesalahannya dalam meriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaan surat-surat yang diriwayatkan oleh selainnya dari Ubai dan yang lain, yang menurut kesepakatan ulama merupakan hadis-hadis maudhu’.
7)  Meriwayatkan banyak isra’iliyyat yang dinisbatkan kepada pengucapnya tanpa memberi komentar. Kecuali yang berkenaan dengan akidah, maka ia mengkritik habis-habisan dan menunjukkan kedustaannya.
D.  Contoh Penafsiran
Tafsir QS. al-Kautsar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (3)

Ketika hendak menafsirkan  surah al-Kautsar,  al-Thabarsi memberikan semacam pengantar sebelum menginjak lebih jauh pada penafsiran ayat. Pengantar tafsir surah al Kautsar ini, diberi judul oleh al-Thabarsi dengan judul “ واياتها(3)/مكية”. Isi pengantar ini, antara lain:[33]
a.    Pertama, menyatakan bahwa surah ini termasuk surah makiyyah. Al-Thabarsi menyebutkannya dari Ibn ‘Abbas dan al kalabi. Ada juga yang mengatakan surah ini adalah Madaniyyah, ia menyandarkannya kepada ‘Ikrimah dan adh Dhahak.
b.    Kedua, menjelaskan keutamaan surah ini. Ia menyandarkannya kepada hadis yang ia terima dari ayahnya bahwa orang yang membacanya maka Allah akan memberinya minum dari sungai syurga, dan memberinya pahala dengan bilangan setiap kurban yang seorang hamba berkurban dengannya pada hari ‘id dari ahli kitab dan orang musyrik. Hadisnya sebagai berikut:
Abu Basyir dari Abi ‘Abdillah ‘Alaihissalam dia berkata: “Barang siapa yang membaca (!štrOöqs3ø9$#»oYøsÜôãr&$¯RÎ)) dalam—ibadah—yang fardhu dan yang sunnahnya (nawaafil), Allah akan memberinya minum pada hari kiamat dari al Kautsar. Dan orang yang menceritakannya berada di sisi Muhammad shallallhu ‘alaihi wa sallam.
c.     Ketiga, menjelaskan tafsirnya secara global. Yakni surah ini adalah celaan Allah Swt terhadap orang yang meninggalkan shalat dan menahan zakat. Serta surah ini juga menyebutkan bahwa kalaulah mereka mengerjakannya, dan mereka pun mendustakannya. Maka sesungguhnya Allah Swt telah memberinya kebaikan yang banyak serta memerintahkan Shalat kepadanya. Maka Ia berfirman:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
            Kemudia ath Thabarsi terlebih dahulu menafsirkan ayat ini secara bahasa saja, yakni pada lafadz “al Kautsar”; Ia menafsirkan bahwa secara bahasa “al-Kautsar” adalah wazan “Fau’ala” dari Katsroh, dan “al Katsroh” bermakna sesuatu yang banyak. Dan “al Kautsar” maknanya adalah “al Khairul katsir” (kebaikan yang banyak).  Kemudian pada lafadz “A’thainaaka” dengan makna pemberian dari dua segi; yakni tamlik (kepemilikan) dan ghair tamlik (bukan kepemilikan), maka  makna Allah Swt memberikan al Kautsar kepada Nabi adalah memberikan kepemilikannya seperti kepemilikan pahala, karna asal dari kalimat “a’tha”adalah “tanaawala” memberi dan menerima.[34]
Lalu ath Thabarsi menerangkan I’rab dari ayat ini, yakni pada kalimat  ptùU$#ur  ada maf’ul (objek) yang di buang. Artinya kurbankanlah sembelihanmu. Selain itu, ia juga menyinggung bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang yang bernama al ‘Ash bin Wail.[35] Menurut at Thabarsi ayat ini adalah perintah untuk bersyukur atas nikmat yang besar.  Kemudian ia juga menyebutkan perbedaan para ulama dalam menafsirkan ayat ini, namun, ia tidak memilih atau menguatkan salah satu dari pendapat tersebut.[36]
al-Thabarsi menjelaskan beberapa poin dari surah ini yang menegaskan kebenaran kenabian Nabi Muhammad Saw, yaitu sebagai berikut:[37]
a.    Allah Swt mengabarkan kepada Nabi Muhammad tentang apa yang ada dalam hati musuh-musuhnya, ia mengetahuinya sekalipun musuh-musuhnya itu tidak menyampaikannya.
b.    Tafsir dari  trOöqs3ø9$#»oYøsÜôãr&$¯RÎ), “lihatlah bagaimana ia menyebarkan agama-Nya, dan meninggikan perintahnya, sehingga Allah Swt menjadikan banyak keturunannya, sampai nasabnya lebih banya dari setiap nasab, tidak ada yang menyamainya dalam hal tesebut.
c.     Semua ahli bahasa Arab lemah untuk mendatangkan surat semacam ini.
d.    Allah Swt menjanjikan pertolongan dari musuh-musuh kepada Nabi Muhammad Saw, memutuskan perkara dan agama mereka. Ia dikabari dengan apa yang Allah kabarkan kepadanya. Dalam surah ini terdapat mukjizat berupa keserupaan dan kemudahan makhraj-makhraj huruf dengan susunan yang baik.



*****




[1]Dr. Muhammad Husein adz Dzahabi, at Tafsir wa al Mufassirun, cet. 3, thn. 1976 H/1396 M, jilid. 1, hal. 205.
[2] Ibid.
[3] Dr. Yunus Hasan Abidu, Tafsir al Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, Tangerang, Gaya Media Pratama, Cetakan pertama, thn. 1428 H/2007 M, hal. 69. (diterjemahkan dari kitab “Diraasat Wa Mabahits fi Tarikh at Tafsir wa Manahij al Mufassirin” oleh Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq)
[4] Ibid. hal. 70. Mengutip dari al Itqan, III/190.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal. 70-71.
[7] Ibn Jarir ath Thabari, Tafsir ath Thabari: al Musamma Jaami’ al Bayan Fii Takwil al Qur’an, Beirut, Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, cet. 4, thn. 1426 H/2005 M, jilid 14, hal. 679.
[8] Ibid, hal. 679-685.
[9] Ibid, 685.
[10] Ibid, hal. 686-690.
[11] Ibid, hal. 690-696
[12] Ibid, hal. 696.
[13] Ibid. hal. 697-700.
[14] Ibid. 700-701
[15] Muhammad bin Adurrahman al-Mar’asyali, Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Takwil (Dalam Muqaddimah), Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arobi, jld. 1, hal. 9.
[16] Ibid.
[17] Ibid, hal. 11
[18] Ibid, hal. 12
[19] Ibid.
[20] Ibid, hal. 12-14.
[21] Al-Baidlawi, Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Takwil, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arobi, jld. 5, hal. 342.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ath Thabarsi adalah nisbat kepada suatu nama tempat yakni Thabrastan, sedang al Masyhadi nisbat kepada tempat ia dimakamkan; yakni al Masyhad al Radwa (at Tafsir wa al Mufassirun)
[27] Dr. Muhammad Husein adz Dzahabi, at Tafsir wa al Mufassirun, cet. 3, thn. 1976 H/1396 M, jilid. 2, hal. 99.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Dr. Yunus Hasan Abidu, Tafsir al Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, hal.184.
[32] Ibid, hal. 184-187. Sebenarnya Dr. Yunus Hasan Abidu dalam bukunya menguraikan 9 langkah yang jadi metode ath Thabarsi dalam kitab tafsirnya, namun penulis sengaja tidak menyertakan poin ke sembilan karena menurut penulis, poin tersebut bukan salah satu metode penafsiran ath Thabarsi, tapi merupakan pandangan yang  lebih kepada pendapat penulisnya tentang sosok pribadi ath Thabarsi. Poin tersebut adalah sebagai berikut:
“Setelah menguraikan karakteristik kitab ini dan metode yang digunakan penulisnya, maka kita harus jujur mengakui bahwa Imam ath Thabarsi rahimahullah adalah orang yang moderat kesyi’ahannya, tidak bersikap fanatik buta dan  tidak bersikap ekstrim seperti Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah lainnya. Ia tidak mengafirkan salah seorang sahabat atau mencela keberagamaan dan keadilannya, di samping tidak berlebihan dalam mencintai Imam ‘Ali, tidak menaikannya ke tingkat kenabian atau yang lebih tinggi, sebagaimana yang dilakukan yang lain. Ia hanya membela madzhabnya tanpa berlebihan. Ia juga mengutip pendapat mufassir-mufassir madzhab lainnya dengan sikap toleran dan moderat.” (Lihat Dr. Yunus Hasan Abidu, Tafsir al Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, hal.187.)
[33] Al-Thabarsi, Majma’ al Bayan Fii Tafsir al Qur’an, Beirut, Dar al ‘Ulum, cetakan pertama, thn. 1426 H/2005 M, jilid 10, hal. 352.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid, hal. 353.
[37] Ibid, hal. 354.