Kamis, 26 Juni 2014

Ilmu Gharib al Hadits



Pendahuluan
            Sebagai sumber hukum Islam ke-dua setelah al-Quran, hadis memang harus dipelihara, dijaga, dan tentunya diamalkan. Posisi hadis yang sangat esensial sangat dipahami oleh generasi sepanjang masa. Itulah sebabnya berbagai cara dilakukan demi terpeliharanya sumber Islam ini. Tak sedikit dari mereka yang rela melakukan perjalanan (rihlah) jauh hanya untuk mendengar satu hadis saja.
            Dan karena posisinya yang esensial ini lah, maka amatlah mesti adanya pemahaman yang menyeluruh terhadap setiap lafad atau kalimat dalam hadis, sehingga didapatkan pemahaman yang utuh dan tidak parsial atau setengah-setengah. Ini pula sepertinya, yang di satu sisi membuktikan bahwa hadis adalah juga wahyu dari Allah Swt melalui lisan Nabi Muhammad Saw. karena nyatanya banyak lafad yang asing (Gharib), yang tidak langsung bisa dipahami begitu saja. Serupa dengan yang terjadi terhadap lafad-afad al-Quran.
Kita tentu pernah mendengar bagaimana seorang sahabat; mufassir yang mempunyai gelar turjumanul quran seperti Ibn Abbas pada awalnya tidak tahu makna dari فطر (fathara) sampai ia mendengar perselisihan dua orang Arab mengenai kepemilikan sebuah sumur, hingga akhirnya setelah tanpa sengaja memperhatikan percakapan orang Arab tersebut, barulah Ibn Abbas memahami bahwa arti dari  فطر (fathara) adalah yang pertama kali menciptakan. Ibn Abbas mengetahuinya dari kata-kata yang digunakan orang Arab tersebut dalam percakapannya.
             Hal yang demikian terjadi dalam hadis. Ada lafad-lafad yang tidak bisa langsung dipahami maknanya oleh para ahli hadis, sehingga lahirlah dalam ilmu hadis, satu cabang ilmu yang disebut dengan ilmu gharib al-hadits.

Pengertian Ilmu Gharib al-Hadits
            Ditinjau dari segi bahasa, غريب (Gharib) diambil dari akar kata غرب yang berarti بعيد عن وطنه (Ba’idun ‘an wathanihi) yakni jauh dari rumah atau tempat tinggal.[1] Orang yang tidak sedang di rumah atau tempat tinggalnya kita katakan asing. Imam Abu Sulaiman al-Khattabi berkata: “asing dalam perkataan adalah jauh dari pemahaman seperti jauhnya seseorang dari rumah atau tempat tinggalnya”.[2] Atau ada pula yang mengatakan bahwa asing dalam perkataan adalah jauhnya makna dari pemahaman kecuali setelah melalui prosese pemikiran.[3] Sederhananya Dr. Mahmud Thahan mendefinisikan غريب secara bahasa adalah “lafad-lafad yang tersembunyi maknanya”.[4] Inilah makna غريب secara bahasa.
Sedangkan menurut istilah, makna غريب dalam konteks ilmu hadis adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh para pakar; yakni sebagai berikut:
            Pertama, Ibn Katsir dalam kitabnya al-Ba’its al-Hatsits  mengenalkan bahwa gharib al-hadits adalah:
من المهمات المتعلقة بفهم الحديث والعلم والعمل به, لا بمعرفة صناعة الاسناد وما يتعلق به.
Hal-hal penting yang berkaitan dengan pemahaman, ilmu dan pengaplikasian suatu hadis. Bukan mengenai pengenalan struktur dan hal-hal yang berkaitan dengan sanad.[5]
Kedua, Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi Syarh Taqrib an-Nawawi menjelaskan Gharib al-Hadits sebagai berikut:
ما وقع فى متن الحديث من لفظة غامضة بعيدة من الفهم لقلة استعما لها.
Apa-apa yang ada dalam matan hadis dari lafad samar yang jauh dari pemahaman, dikarenakan sedikit penggunaannya.[6]
Gharib al-hadits ini adalah cabang ilmu yang penting, bergelut dalam ilmu ini adalah sulit sehingga mengharuskan panjang lebar pembicaraannya, karena kita tidak boleh menafsirkan perkataan Nabi Saw. sembarangan dengan prasangka.[7]
Ketiga, Nuruddin ‘Itr dalam Manhaj an-Naqd, menjelaskan sebagai berikut:
غريب الحديث: ما وقع فى متون الأحاديث من الألفاظ الغامضة البعيدة عن الفهم.
Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang ada dalam matan hadis-hadis dari lafad-lafad samar yang jauh dari pemahaman.[8]
            Keempat, Abu Zahrah dalam al-Hadits wa al-Muhadditsuun.
غريب الحديث ما يقع فيه من كلمات غامضة بعيدة من الفهم لقلة استعما لها.
Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang ada di dalam hadis, kalimat-kalimat samar yang jauh dari pemahaman karena sedikit penggunaannya.[9]
            Demikian pengertian Gharib al-Hadits menurut para pakar yang secara esensial sama, hanya sedikit berbeda dalam redaksinya saja. Dari definisi-definisi di atas pula dapat dengan mudah kita simpulkan bahwa objek yang menjadi kajian ilmu ini adalah terfokus kepada matan hadis bukan sanadnya. Mencakup kalimat-kalimat asing yang artinya tidak diketahui karena memang jarang digunakan dalam percakapan, juga mencakup susunan kalimatnya yang sukar. Sehingga dengan ilmu ini bisa megurangi kecenderungan untuk menafsirkan perkataan Nabi Saw dengan cara menduga-duga.

Latar Belakang Munculnya Ilmu Gharib al-Hadits
            Rasulullah Saw adalah orang Arab yang paling fasih lisannya, sehingga ketika beliau berbicara kepada delegasi-delegasi orang Arab dari berbagai kabilah dengan perbedaan lisan-lisannya, mereka dapat memahami apa yang beliau katakan. Begitupun para sahabat, mereka adalah orang-orang yang paling memahami apa yang beliau katakan, kalaupun ada yang tidak mereka mengerti, niscaya mereka menanyakannya kepada beliau. Sehingga segala urusan dapat sampai pada kebenaran Rasulullah Saw. [10]
            Pada masa sahabat, sebelum adanya berbagai penaklukan negri-negri, lisan orang Arab sangatlah baik. Namun setelah banyaknya orang ‘azam luar Arab yang masuk Islam, maka mulailah banyak terjadi percampuran, hingga berkembang jaman baru di mana lisan orang Arab bercampur dengan orang-orang ‘azam luar Arab. Pada masa Tabi’in, bahasa  Arab terus bercampur sedikit demi sedikit. Sehingga ketika masa tabi’in berlalu, lisan orang Arab berubah, akibatnya orang-orang kesulitan memahami hadis Nabi saw.[11]
            Hal ini terus berlangsung sampai Allah Swt mengilhamkan kepada para aimmatuddin untuk mengobati penyakit ini. Maka para Imam mutaakhkhirin dari atba’ at-tabi’in seperti Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, dan Syu’bah bin Hajjaj mulai sibuk membicarakan keghariban hadis-hadis Nabi Saw.[12]
            Begitu pun banyak dari ulama setelah mereka, yang sangat memperhatikan ilmu ini. Suatu saat Imam Ahmad pernah ditanya tentang satu huruf yang gharib maka ia berkata, “Tanyakanlah kepada orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tersebut, karena aku tidak suka berbicara mengenai perkataan Rasulullah Saw dengan prasangka semata dan kemudian aku salah.”[13]
            Dari sinilah mulai disusun berbagai kitab mengenai gharib al-hadits yang Insya Allah akan penulis sebutkan beberapa di antaranya pada pembahasan didepan.

Kitab-kitab Gharib al-Hadits
            Secara umum, yang dimaksud dengan kitab Gharib adalah kitab-kitab yang mengumpulkan kalimat-kalimat gharib dan sukar maknanya baik itu dari al-Quran maupun hadis.[14] Ada sedikit perbedaan pendapat mengenai siapa orang yang pertama menyusun kitab Gharib al-Hadits, ada yang berkata yang pertama kali adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna at-Tamimi (W. 210 H),[15] ada pula yang berpendapat bahwa yang pertama kali adalah Abu Hasan an-Nadhri bin Syamil al-Mazini (W. 203 H).[16]
Terlepas dari perbedaan tersebut, berikut kitab-kitab tentang Gharib al-Hadits yang telah disusun oleh para ulama:
a)     Gharib al-Hadits karya Abu Ubaid al-Qasim in Salam (W. 224 H). Sudah dicetak dalam 4 jilid.
b)     Gharib al-Hadits karya Muhammad bin Ziyad yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-A’rabi (W. 231 H).
c)      Gharib al-Hadits karya Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (W. 276 H). Kitab ini adalah catatan tambahan dan perbaikan atas kitab Abu Ubaid al-Qasim bin Salam. Sudah dicetak dalam 3 jilid.
d)     Gharib al-Hadits karya Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al-Harbi (W. 285 H).
e)     Gharib al-Hadits karya Abu Sulaiman Hamd al-Khattabi (W. 388 H)
f)       Al-Ghariibiin (Gharib al-Quran wa al-Hadits) karya Abu Ubaid Ahmad bin Muhammad al-Harwi (W. 401 H).
g)     Al-Faiq fii Gharib al-hadits karya Abu Qasim JaaralLahu Mahmud bin ‘Amr az-Zamakhsyari al-Mu’t azili (W. 538 H).
h)     Gharib al-Hadits karya Abu al-Farj Ibn al-Jauzi (W. 597 H).
i)       An-Nihayah fii Gharib al-Hadits karya Majiuddin al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Atsir (W. 606 H).[17]

Contoh Hadits Yang Mengandung Kalimat Gharib
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ سُمَيٍّ، مَوْلَى أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الخَامِسَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الإِمَامُ حَضَرَتِ المَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ»[18]
            Kalimat بدنة dalam hadis tersebut dimutlakkan kepada unta dan sapi. Para ulama berkata bahwa yang dimaksud adalah unta, dan sungguh telah diriwayatkan dalam karya Abd ar-Razzaq dengan lafad فله من الاجر مثل الجزور “maka baginya pahala seperti menyembelih unta”.[19]

Daftar Pustaka
‘Itr Nuruddun, Manhaj an-Naqd fii Ulum al-Hadits, Damaskus, Dar al-Fikr, cet. 3, thn.             1997.
Abu Zahrah Muhammad, al-Hadits wa al-Muhadditsun: Inayah al-Ummah al-Islamiyyah         bi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama,          thn. 1984.
Az-Zahrani Muhammad, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy’atuhu wa     Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri,         Riyadh, Dar al-Hijrah, cetakan pertama, thn. 1996.
Katsir Ibn, al-Ba’its al-Hatsits: Syarh ‘Ulum al-Hadits, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan        pertama, thn. 2005.
As-Suyuthi Jalaluddin, Tadrib ar-Rawi fii Syarh Taqri an-Nawawi, Kairo, Maktabah Dar          at-Turats, cet. 3, thn. 2005.
Thahan Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadits, Singapur-Jeddah, Haramain, cetakan    pertama, thn. 1985.
Al-Khatib Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Damaskus,           Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1989.
Mandlur Ibn,   Lisan al-Arab, Kairo, Dar al-Ma’arif.
Shahih Bukhari. (Dalam Maktabah Syamilah)
Shahih Muslim. (Dalam Maktabah Syamilah)




[1] Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Kairo, Dar al-Ma’arif, hal. 3225.
[2] Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama, thn. 1984 M/1404 H, hal. 474
[3] Ibid.
[4] Mahmud Thahaan, Taisir Musthalah al-Hadits, Singapur-Jeddah—Indonesia, al-Haramain, hal. 174.
[5] Ibn Katsir, al-Ba’its al-Hatsits: Syarh ‘Ulum al-Hadits, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 2005 M/1425-1426 H, hal. 117.
[6] Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fii Syarh Taqri an-Nawawi, Kairo, Maktabah Dar at-Turats, cet. 3, thn. 2005 M/1426 H, hal. 403. Lihat juga Taisir Musthalah al-Hadits karya Mahmud Thahaan,  hal. 174.
[7] Ibid.
[8] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd, Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1997, hal. 332.
[9] Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun: ‘Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama, thn. 1984 M/1404 H, hal. 474
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd, Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1997, hal. 332.
[14] Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, Riyadh, Dar al-Hijrah, cetakan pertama, thn. 1996 M/1417 H, hal. 217.
[15] Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun: ‘Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama, thn. 1984 M/1404 H, hal. 475.
[16] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1989 M/1409 H, hal. 281. Lihat juga al-Ba’its al-Hatsits karya Ibn Katsir hal. 117.
[17] Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, Riyadh, Dar al-Hijrah, cetakan pertama, thn. 1996 M/1417 H, hal. 218-220.
[18] Shahih Bukhari, Bab Fadhl al-Jum’ah, Juz. 2, hal. 3. Dan Shahih Muslim, Bab at-Thib wa as-Siwak Yaum al-Jum’ah, juz. 2, hal. 582. (Dalam maktabah syamilah).
[19] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd, Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1997, hal. 332.

0 komentar:

Posting Komentar