Pendahuluan
Sebagai sumber hukum Islam ke-dua setelah
al-Quran, hadis memang harus dipelihara, dijaga, dan tentunya diamalkan. Posisi
hadis yang sangat esensial sangat dipahami oleh generasi sepanjang masa. Itulah
sebabnya berbagai cara dilakukan demi terpeliharanya sumber Islam ini. Tak
sedikit dari mereka yang rela melakukan perjalanan (rihlah) jauh hanya
untuk mendengar satu hadis saja.
Dan
karena posisinya yang esensial ini lah, maka amatlah mesti adanya pemahaman
yang menyeluruh terhadap setiap lafad atau kalimat dalam hadis, sehingga
didapatkan pemahaman yang utuh dan tidak parsial atau setengah-setengah. Ini
pula sepertinya, yang di satu sisi membuktikan bahwa hadis adalah juga wahyu
dari Allah Swt melalui lisan Nabi Muhammad Saw. karena nyatanya banyak lafad
yang asing (Gharib), yang tidak langsung bisa dipahami begitu saja.
Serupa dengan yang terjadi terhadap lafad-afad al-Quran.
Kita tentu pernah mendengar
bagaimana seorang sahabat; mufassir yang mempunyai gelar turjumanul quran
seperti Ibn Abbas pada awalnya tidak tahu makna dari فطر (fathara)
sampai ia mendengar perselisihan dua orang Arab mengenai kepemilikan sebuah
sumur, hingga akhirnya setelah tanpa sengaja memperhatikan percakapan orang
Arab tersebut, barulah Ibn Abbas memahami bahwa arti dari فطر (fathara) adalah yang pertama kali
menciptakan. Ibn Abbas mengetahuinya dari kata-kata yang digunakan orang Arab
tersebut dalam percakapannya.
Hal yang demikian terjadi dalam hadis. Ada
lafad-lafad yang tidak bisa langsung dipahami maknanya oleh para ahli hadis,
sehingga lahirlah dalam ilmu hadis, satu cabang ilmu yang disebut dengan ilmu gharib
al-hadits.
Pengertian Ilmu Gharib al-Hadits
Ditinjau
dari segi bahasa, غريب (Gharib) diambil dari akar kata غرب yang berarti بعيد عن وطنه (Ba’idun ‘an
wathanihi) yakni jauh dari rumah atau tempat tinggal.[1] Orang yang
tidak sedang di rumah atau tempat tinggalnya kita katakan asing. Imam Abu
Sulaiman al-Khattabi berkata: “asing dalam perkataan adalah jauh dari pemahaman
seperti jauhnya seseorang dari rumah atau tempat tinggalnya”.[2] Atau ada pula
yang mengatakan bahwa asing dalam perkataan adalah jauhnya makna dari pemahaman
kecuali setelah melalui prosese pemikiran.[3] Sederhananya
Dr. Mahmud Thahan mendefinisikan غريب secara
bahasa adalah “lafad-lafad yang tersembunyi maknanya”.[4] Inilah makna غريب secara bahasa.
Sedangkan
menurut istilah, makna غريب dalam
konteks ilmu hadis adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh para pakar; yakni
sebagai berikut:
Pertama, Ibn Katsir dalam kitabnya al-Ba’its
al-Hatsits mengenalkan bahwa gharib al-hadits
adalah:
من المهمات المتعلقة بفهم الحديث والعلم والعمل به, لا بمعرفة صناعة
الاسناد وما يتعلق به.
Hal-hal penting yang
berkaitan dengan pemahaman, ilmu dan pengaplikasian suatu hadis. Bukan mengenai
pengenalan struktur dan hal-hal yang berkaitan dengan sanad.[5]
Kedua, Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi Syarh
Taqrib an-Nawawi menjelaskan Gharib al-Hadits sebagai berikut:
ما وقع فى متن الحديث من لفظة غامضة بعيدة من الفهم لقلة استعما لها.
Apa-apa yang ada dalam matan
hadis dari lafad samar yang jauh dari pemahaman, dikarenakan sedikit
penggunaannya.[6]
Gharib
al-hadits ini
adalah cabang ilmu yang penting, bergelut dalam ilmu ini adalah sulit sehingga
mengharuskan panjang lebar pembicaraannya, karena kita tidak boleh menafsirkan
perkataan Nabi Saw. sembarangan dengan prasangka.[7]
Ketiga, Nuruddin ‘Itr dalam Manhaj an-Naqd,
menjelaskan sebagai berikut:
غريب الحديث: ما وقع فى متون الأحاديث من الألفاظ الغامضة البعيدة عن
الفهم.
Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang
ada dalam matan hadis-hadis dari lafad-lafad samar yang jauh dari
pemahaman.[8]
Keempat, Abu Zahrah dalam al-Hadits wa
al-Muhadditsuun.
غريب الحديث ما يقع فيه من كلمات غامضة بعيدة من الفهم لقلة استعما لها.
Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang
ada di dalam hadis, kalimat-kalimat samar yang jauh dari pemahaman karena
sedikit penggunaannya.[9]
Demikian pengertian Gharib al-Hadits menurut para pakar
yang secara esensial sama, hanya sedikit berbeda dalam redaksinya saja. Dari
definisi-definisi di atas pula dapat dengan mudah kita simpulkan bahwa objek
yang menjadi kajian ilmu ini adalah terfokus kepada matan hadis bukan sanadnya.
Mencakup kalimat-kalimat asing yang artinya tidak diketahui karena memang
jarang digunakan dalam percakapan, juga mencakup susunan kalimatnya yang sukar.
Sehingga dengan ilmu ini bisa megurangi kecenderungan untuk menafsirkan
perkataan Nabi Saw dengan cara menduga-duga.
Latar Belakang
Munculnya Ilmu Gharib al-Hadits
Rasulullah Saw adalah orang Arab yang paling fasih
lisannya, sehingga ketika beliau berbicara kepada delegasi-delegasi orang Arab
dari berbagai kabilah dengan perbedaan lisan-lisannya, mereka dapat memahami
apa yang beliau katakan. Begitupun para sahabat, mereka adalah orang-orang yang
paling memahami apa yang beliau katakan, kalaupun ada yang tidak mereka
mengerti, niscaya mereka menanyakannya kepada beliau. Sehingga segala urusan
dapat sampai pada kebenaran Rasulullah Saw. [10]
Pada masa sahabat, sebelum adanya berbagai penaklukan
negri-negri, lisan orang Arab sangatlah baik. Namun setelah banyaknya orang
‘azam luar Arab yang masuk Islam, maka mulailah banyak terjadi percampuran,
hingga berkembang jaman baru di mana lisan orang Arab bercampur dengan
orang-orang ‘azam luar Arab. Pada masa Tabi’in, bahasa Arab terus bercampur sedikit demi sedikit.
Sehingga ketika masa tabi’in berlalu, lisan orang Arab berubah, akibatnya
orang-orang kesulitan memahami hadis Nabi saw.[11]
Hal ini terus berlangsung sampai Allah Swt mengilhamkan
kepada para aimmatuddin untuk mengobati penyakit ini. Maka para Imam mutaakhkhirin
dari atba’ at-tabi’in seperti Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, dan
Syu’bah bin Hajjaj mulai sibuk membicarakan keghariban hadis-hadis Nabi
Saw.[12]
Begitu pun banyak dari ulama setelah mereka, yang sangat
memperhatikan ilmu ini. Suatu saat Imam Ahmad pernah ditanya tentang satu huruf
yang gharib maka ia berkata, “Tanyakanlah kepada orang yang mempunyai
keahlian dalam bidang tersebut, karena aku tidak suka berbicara mengenai
perkataan Rasulullah Saw dengan prasangka semata dan kemudian aku salah.”[13]
Dari sinilah mulai disusun berbagai kitab mengenai gharib
al-hadits yang Insya Allah akan penulis sebutkan beberapa di antaranya pada
pembahasan didepan.
Kitab-kitab Gharib
al-Hadits
Secara umum, yang dimaksud dengan kitab Gharib
adalah kitab-kitab yang mengumpulkan kalimat-kalimat gharib dan sukar
maknanya baik itu dari al-Quran maupun hadis.[14] Ada sedikit
perbedaan pendapat mengenai siapa orang yang pertama menyusun kitab Gharib
al-Hadits, ada yang berkata yang pertama kali adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar
bin al-Mutsanna at-Tamimi (W. 210 H),[15] ada pula yang
berpendapat bahwa yang pertama kali adalah Abu Hasan an-Nadhri bin Syamil
al-Mazini (W. 203 H).[16]
Terlepas
dari perbedaan tersebut, berikut kitab-kitab tentang Gharib al-Hadits yang
telah disusun oleh para ulama:
a) Gharib
al-Hadits karya Abu Ubaid al-Qasim in Salam (W. 224 H). Sudah dicetak dalam 4
jilid.
b) Gharib
al-Hadits karya Muhammad bin Ziyad yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-A’rabi
(W. 231 H).
c)
Gharib al-Hadits karya Abu Muhammad
‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (W. 276 H). Kitab ini adalah catatan tambahan
dan perbaikan atas kitab Abu Ubaid al-Qasim bin Salam. Sudah dicetak dalam 3
jilid.
d) Gharib
al-Hadits karya Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al-Harbi (W. 285 H).
e) Gharib
al-Hadits karya Abu Sulaiman Hamd al-Khattabi (W. 388 H)
f)
Al-Ghariibiin (Gharib al-Quran wa
al-Hadits) karya Abu Ubaid Ahmad bin Muhammad al-Harwi (W. 401 H).
g) Al-Faiq
fii Gharib al-hadits karya Abu Qasim JaaralLahu Mahmud bin ‘Amr az-Zamakhsyari
al-Mu’t azili (W. 538 H).
h) Gharib
al-Hadits karya Abu al-Farj Ibn al-Jauzi (W. 597 H).
i)
An-Nihayah fii Gharib al-Hadits karya Majiuddin
al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Atsir
(W. 606 H).[17]
Contoh Hadits Yang
Mengandung Kalimat Gharib
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ سُمَيٍّ، مَوْلَى
أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ
الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً،
وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ، فَكَأَنَّمَا
قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الثَّالِثَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي
السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي
السَّاعَةِ الخَامِسَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الإِمَامُ
حَضَرَتِ المَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ»[18]
Kalimat بدنة dalam
hadis tersebut dimutlakkan kepada unta dan sapi. Para ulama berkata bahwa yang
dimaksud adalah unta, dan sungguh telah diriwayatkan dalam karya Abd ar-Razzaq
dengan lafad فله من الاجر مثل الجزور “maka baginya pahala seperti menyembelih unta”.[19]
Daftar Pustaka
‘Itr Nuruddun, Manhaj
an-Naqd fii Ulum al-Hadits, Damaskus, Dar al-Fikr, cet. 3, thn. 1997.
Abu Zahrah Muhammad, al-Hadits
wa al-Muhadditsun: Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Beirut, Dar al-Kitab
al-‘Arabi, cetakan pertama, thn.
1984.
Az-Zahrani Muhammad, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila
Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, Riyadh, Dar al-Hijrah, cetakan pertama, thn.
1996.
Katsir Ibn, al-Ba’its
al-Hatsits: Syarh ‘Ulum al-Hadits, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 2005.
As-Suyuthi Jalaluddin, Tadrib
ar-Rawi fii Syarh Taqri an-Nawawi, Kairo, Maktabah Dar at-Turats, cet. 3, thn. 2005.
Thahan Mahmud, Taisir
Musthalah al-Hadits, Singapur-Jeddah, Haramain, cetakan pertama, thn. 1985.
Al-Khatib Muhammad ‘Ajjaj, Ushul
al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1989.
Mandlur Ibn, Lisan al-Arab, Kairo, Dar al-Ma’arif.
Shahih Bukhari. (Dalam
Maktabah Syamilah)
Shahih Muslim. (Dalam
Maktabah Syamilah)
[1] Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Kairo, Dar
al-Ma’arif, hal. 3225.
[2] Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun,
Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama, thn. 1984 M/1404 H, hal. 474
[3] Ibid.
[4] Mahmud Thahaan, Taisir Musthalah al-Hadits,
Singapur-Jeddah—Indonesia, al-Haramain, hal. 174.
[5] Ibn Katsir, al-Ba’its al-Hatsits: Syarh ‘Ulum
al-Hadits, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 2005 M/1425-1426 H,
hal. 117.
[6] Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fii
Syarh Taqri an-Nawawi, Kairo, Maktabah Dar at-Turats, cet. 3, thn. 2005
M/1426 H, hal. 403. Lihat juga Taisir Musthalah al-Hadits karya Mahmud
Thahaan, hal. 174.
[7] Ibid.
[8] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd,
Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1997, hal. 332.
[9] Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun:
‘Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Beirut, Dar
al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama, thn. 1984 M/1404 H, hal. 474
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd,
Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1997, hal. 332.
[14] Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin
as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila
Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, Riyadh, Dar al-Hijrah, cetakan pertama,
thn. 1996 M/1417 H, hal. 217.
[15] Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun:
‘Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Beirut, Dar
al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama, thn. 1984 M/1404 H, hal. 475.
[16] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits:
‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1989
M/1409 H, hal. 281. Lihat juga al-Ba’its al-Hatsits karya Ibn Katsir
hal. 117.
[17] Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin
as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila
Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, Riyadh, Dar al-Hijrah, cetakan pertama,
thn. 1996 M/1417 H, hal. 218-220.
[18] Shahih Bukhari, Bab Fadhl al-Jum’ah,
Juz. 2, hal. 3. Dan Shahih Muslim, Bab at-Thib wa as-Siwak Yaum al-Jum’ah,
juz. 2, hal. 582. (Dalam maktabah syamilah).
0 komentar:
Posting Komentar