“Kenali Musuhmu” (Know your Enemies) adalah
semboyan dari missionaris di balik kegigihan mereka dalam mengkaji Islam
beserta seluk beluknya dari segala aspek. Adalah naive apabila kita bersangka
baik dan menelan mentah-mentah apa yang dikatakan oleh orang-orang yang tak kan
pernah ridha dan senantiasa memusuhi kita. Lebih celaka lagi jika kita
mengamini seraya meniru-niru (parroting) melakukan apa yang mereka kerjakan,
seperti menghina Rasulullah saw, memburuk-burukkan para Sahabat dan Tabi’in,
meremehkan para ulama salaf, meragukan otoritas dan otentisitas tradisi
keilmuan Islam, lalu mau membuat critical edition of al-Quran, menolak hadits
(inkar al-sunnah), membuat tafsir dan hukum sendiri mengikuti hawa nafsu yang
sesat dan menyesatkan. Demikian
kurang lebih apa yang pernah disampaikan oleh Dr. Syamsuddin Arif dalam buku
“Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”.[2]
Nama-nama seperti Ignas Goldziher, Alois
Sprenger, Sir
William Muir, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll adalah termasuk bagian di
dalamnya.
Sebagai orientalis yang mencurahkan
separuh dari hidupnya untuk mengkaji hadits, juga sebagai peneliti dan
pengembang dari teori pendahulunya—khususnya Schacht—, Nama yang terakhir
disebut beserta pemikiran dan teori-teorinya tentang otentisitas hadits Nabi
layak untuk dikedepankan. Selain karena teori Common Linknya masih
terbilang ‘hangat’ untuk diperbincangkan, orientalis Belanda yang satu ini juga,
posisinya sudah disejajarkan dengan nama-nama sekaliber James Robson, Fazlur
Rahman, M.M. Azami, dan Michael Cook. Dia lah G.H.A. Juynboll.
Selayang
Pandang Biografi G.H.A Juynboll
Dalam pendahuluan bukunya yang
berjudul Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith. Sebagaimana
dikutip oleh Dr. Ali Masrur, Juynboll mengklaim telah menjelaskan perkembangan
penelitiannya atas literatur hadis secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an
hingga 1996.[4]
Semasa menjadi mahasiswa S1,
Juynboll bergabung bersama sekelompok
kecil orang untuk mengedit satu karya yang kemudian menghasilkan separo akhir
dari kamus hadits, Concordanes et indices de la tradition musulmane,
tepatnya dari pertengahan huruf hingga akhir karya tersebut. Pada 1965-1966,
dengan dana bantuan dari The Netherlands Organization for the Advancerment
of Pure Research (ZWO), Juynboll tinggal di Mesir untuk melakukan
penelitian disertasi mengenai pandangan para teolog Mesir terhadap literatur
hadits. akhirnya disertasi yang disusunnya itu dapat dipertahankan di depan
Komisi Senat pada kamis, 27 Maret 1969, pukul 14.15, dalam rangka meraih gelar
Doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Universitas Negri Leiden, Belanda.[5]
Disertasi yang dimaksud berjudul
“The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt”.
Diterbitkan oleh E. J. Brill Leiden, thn. 1969. Disertasi ini sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kontroversi Hadis di
Mesir (1880-1960). Disertasi ini mengkaji pendapat-pendapat para teolog muslim
Mesir tentang keshahihan hadits Nabi. Ia juga menyampaikan pendapat para
orientalis seperti Alois Sprenger, orang yang pertama mengatakan sebagian
hadits sebagai palsu, G Weil, W. Muir, dan R.P.A Dozy yang menyatakan, bahwa
setidak-tidaknya separoh hadits yang terdapat dalam koleksi al-Bukhari adalah
otentik.[6]
Juynboll kemudian melakukan
berbagai penelitian mengenai berbagai persoalan, baik klasik maupun
kontemporer. Tahun 1974, ia menulis makalah bertitel: “On the Origins of Arabic
Prose” dan dimuat dalam buku “Studies on the First Century of Islamic Society.
Sejak saat itu lah ia memusatkan perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah
meninggalkannya lagi. Bahkan dalam beberapa kesempatan ia sering mengatakan,
“Seluruhnya akan kupersembahkan untuk hadits Nabi”.[7]
Selain itu, ia mengajar di
berbagai Universitas di Belanda. Namun, kegiatan mengajar dan membimbing para
mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya.
Sebagai seorang ilmuwan, ia lebih cenderung menjadi private scholar,
tidak terikat dengan univeritas mana pun. Sebagai akibatnya, ia tidak memiliki
jabatan akademis sebagaimana ilmuwan besar lainnya. Sebagaimana yang ia
sampaikan dalam salah satu pernyataannya, “... I am private Scholar without
connections with university”.[8]
Kegiatan sehari-harinya adalah sebagai daily visitor di Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda, untuk melakukan penelitian hadits, khususnya di
ruang koleksi perpustakaan Timur Tengah Klasik (Oriental Reading Room),
di bawah seorang supervisor bernama Hans van de Velde. Di usianya yang telah
menginjak 69 tahun, Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 NL-2313 HW Leiden,
Belanda.
G.H.A Juynboll meninggal pada 19
Desember 2010.[9] Selama
hidupnya, beberapa karya yang telah ia sumbangkan untuk kajian hadits—khusunya
di Barat—adalah sebagai berikut:
·
The Authenticity of the Tradition Literature
Discussions in Modern Egypt (1969)
·
Studies on the First Century of Islamic Society
(1982)
·
Muslim Traditions: Studies in Chronology
Provenance and Authorship of Early Hadith (1985)
·
Studies on the Origins and Use of Islamic Hadith
(1996)
Sedangkan tulisan-tulisannya dalam bentuk artikel mengenai berbagai tema
kajian hadith, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
·
Ahmad Muhammad Shakir (1892-1958) and His Edition
of Ibn Hanbal’s Musnad
pada tahun 1972.
·
Muslim Introduction to His Sahih pada tahun 1984.
·
Analysing Isnad in Hadith and Akhbar Literature pada tahun 1991.
·
Some Notes on Islam’s First Fuqaha’ Distilled From
Early Hadith Literature
pada tahun 1992.
·
Nafi, the mawla of Ibn Umar and His Position in
Muslim Hadith Literature
pada tahun 1993. Dan sebagainya.
Beberapa tulisannya dalam bidang lain seperti studi al-Quran, fikih, dan
historiografi, di antaranya adalah Review of Quranic: Sources and Methods of
Scriptural Interpretation by Jhon Wansbrough, Review of the Sectarian Milieu:
Content and Composition os Islamic Salvation Histtory, Some Trought on Early
Muslim Histiriography, dan New Perspective in the Study of Early Islamic
Jurisprudence.[10]
Demikian sekelumit tentang biografi dan beberapa karya Juynboll. Selanjutnya,
karena bisa dikatakan bahwa ia termasuk orientalis yang konsen mengkaji hadits
dari aspek sanadnya, maka dalam pembahasan selanjutnya akan diuraikan
penjelasan tentang teori sanad yang menjadi inti dari gagasan dan pemikiran Juynboll,
yaitu teori common link (tokoh penghubung).
Prof. Joseph Schacht: Sang Penggagas Teori
Common Link
Prof. Joseph Schacht adalah orientalis pertama
yang membicarakan tentang common link (tokoh penghubung) dalam sanad atau
periwayatan hadits. ini sebagaimana diakui sendiri oleh Juynboll; bahwa dirinya
hanyalah seorang pengembang dan bukan penemu dari teori tersebut, kendati
Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang
memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Oleh karena itu, secara
definitif, common link dapat didefinisikan sebagai teori Joseph Schacht
yang dikembangkan oleh Juynboll, dengan asumsi dasar yang menyatakan bahwa
semakin banyak jalur isnad yang bertemu pada seorang periwayat, baik
yang menuju atau meninggalkannya, semakin besar seorang periwayat dan jalur
periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.[11]
Singkatnya, teori ini berbicara tentang penanggalan hadits, di mana masa hidup
seorang periwayat dalam rantai sanad yang menjadi common link dianggap
sebagai masa kemunculan hadits tersebut.
Dr. Ali Masrur mengungkapkan,
sebenarnya sejak awal fenomena common link sudah dikenal oleh para ulama
ahli hadits. Imam Tirmidzi dalam koleksi haditsnya menyebut hadits-hadits yang
menunjukkan adanya seorang periwayat tertentu, si A misalnya, sebagai common
link dalam isnad-nya, dengan “hadits-hadits si A”. istilah yang dipakai
oleh Imam Tirmidzi untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah madar (poros).
Hadits itu membentuk sebagian besar hadits gharib, yaitu yang diriwayatkan oleh
seorang periwayat tunggal pada thabaqoh (tingkatan) isnad
tertentu. Namun, kelihatannya para ahli hadits tidak begitu menyadari sepenuhnya
implikasi dari gejala tersebut terhadap problem penanggalan hadits.[12]
Schacht mengemukakan contoh yang
menunjukan gejala common link atau dengan istilah lalin, common
transmitter. Dalam karya Imam Syafi’i, kitab ikhtilaf al-Hadits, terdapat
sebuah hadits yang memiliki isnad sebagai berikut:
Dalam pohon isnad di atas, Amr bin Abi Amir merupakan common link
(tokoh penghubung) dari seluruh jalur isnad hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Syafi’i. Amr lah yang membuat hadits tersebut bersambung dengan Jabir
hingga ke Nabi. Bagian bawah Isnad tersebut adalah bagian yang otentik,
sementara bagian atas merupakan buatan Amr semata. Dalam upaya memperbaiki
isnad, Amr juga mengemukakan jalur-jalur tambahan, yakni jalur dari seorang
laki-laki Bani Salamah. Dengan demikian hadits ini sebenarnya bersumber
dari dan berasal dari Amr bin Abi Amr
karena dia lah orang pertama yang menyebarkan hadits kepada beberapa periwayat
hadits berikutnya, dan bukan dari Muththalib, Jabir, atau bahkan dari Nabi.[13]
M. M Azami mengkritik pemaparan
Schacht di atas. Menurutnya, kesimpulan Schacht tidak berdasar dengan beberapa
alasan. Pertama, dalam pohon sanad di atas, digambarkan seolah Amr
meriwayatkan dari tiga guru, yaitu Muththalib yang disebutkan dua kali dan dari
seorang laki-laki Bani Salamah. Kedua, Schacht kelihatannya tidak
memahami teks dalam kitab ikhtilaf. Dalam buku ini, al-Syafi’i sebenarnya ingin
membandingkan tiga murid Amr dan
menyalahkan Abd Aziz yang menyebut seorang laki-laki Bani Salamah sebagai guru
Amr. Di sisi lain, Ibrahim bin Yahya adalah periwayat yang lebih kuat dari Abd
Aziz, lebih-lebih pernyataannya didukung oleh Sulaiman. Oleh karena itu, Amr
sebenarnya menerima jalur tersebut hanya dari satu jalur, yaitu Muththalib-Jabir-Nabi.[14]
Demikian kritik yang disampaikan
oleh M.M Azami. Kritik ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa kesimpulan
Schacht salah. Namun, menurut Dr. Ali Masrur, jika diperhatikan kembali dengan
cermat, kritik Azami ternyata masih harus dikoreksi. Pasalnya, sekalipun
bantahan Azami bahwa Amr bin Abi Amr menerima hadits hanya dari satu jalur itu
benar, yaitu Muththalib-Jabir-Nabi. Namun menurut teori Schacht, Amr tetaplah Common
link (tokoh penghubung) dalam rantai isnad tersebut. Dan ini belum
menjawab persoalan.[15]
Lebih lanjut menurut Scahcht, bahwa teori common link dapat dipakai
untuk memberikan penanggalan terhadap hadits –hadits dan doktrin-doktrin para
ahli fikih. Penjelasan mengenai kepalsuan isnad bagian atas seharusnya
mengubah sikap penerimaan yang tidak kritis terhadap isnad. Selain itu
ada kemungkinan bahwa nama common link hanya digunakan oleh orang lain
yang tak dikenal, dengan demikian kemunculannya hanya sebatas status quo,
khususnya periode tabi’in.[16]
Sampai di sini, teori Schacht di
atas, mengambil cukup banyak bagian untuk mendorongnya mengatakan bahwa tidak
ada satu pun hadits yang bernar-benar otentik berasal dari Nabi saw. Kalau pun
ada, jumlahnya amat sedikit sekali.
G.H.A Juynboll:
Teori Common Link di Tangan Sang Pengembang
Selain oleh Azami, pemikiran-pemikiran Schacht
juga sudah banya dibantah oleh ilmuwan-ilmuwan lainnya seperti Muhammad Abu
Zahroh dan Zafar Ishaq Anshari. Tak ketinggalan dari kalangan orientalis
sendiri kritik kepada Schacht disampaikan pula oleh Coulson, Cook, Motzki, dan
Rubin.[17]
Namun kendati banyak dikritik, teori Schacht terus diadopsi dan dikembangkan
oleh Juynboll. Ditangannya, toeri ini terus hidup dan menemukan bentuknya yang
lebih baik dari sebelumnya.
Menurut Dr Ali Masrur, dalam
beberapa tulisannya, Juynboll sering kali mengemukakan sebuah asumsi dasar yang
menjadi pijakannya dalam meneliti hadis serta memperkenalkan beberapa istilah
teknis yang relatif baru, yang berhubungan erat dengan teori common link.
Prinsip itu mengatakan, The more tranmission lines come together in one
transmitter, either reaching him or going away from him, the more this
transmitter and his transmission have a claim to historicity.[18] Dari
sini, Juynboll hendak mengatakan bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang
bertemu, baik yang menuju atau meninggalkannya, maka semakin besar pula seorang
periwayat[19]
Istilah yang relatif baru dari
Juynboll yaitu; pertama, partial common link (sebagian
periwayat bersama yang selanjutnya disebut pcl). Pcl adalah seorang yang
menerima hadits dari seorang (atau lebih) guru yang berstatus cl atau yang
lain, kemudian menyampaikannya kepada dua murid atau lebih. Kedua,
inverted partial common link, yaitu periwayat yang menerima laporan
lebih dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya kepada (jarang lebih dari)
seorang murid. Ketiga, diving, yaitu jalur penyelam; jalur
isnad yang melewati cl. Fenomena ini menurut Juynboll muncul belakangan pada
akhir abad ke dua hijriah dan terbagi kepada tiga macam, 1) jalur penyelam yang
berakhir pada tabi’in awal. 2) yang berakhir pada sahabat. 3) yang berakhir
pada Nabi. Keempat, spider, fenomena ini sekilas
menunjukkan tokoh kunci yang tampak sebagai cl, yang darinya muncul beberapa
jalur isnad mulai menyebar, dan pada gilirannya sampai pada sejumlah koleksi
hadits. Akan tetapi setelah diamati secara seksama, ternyata seluruh atau
hampir seluruh jalur isnad tersebut terdiri dari jalur tunggal, yakni
tidak seorang periwayat pun yang memiliki lebih dari seorang murid.[20]
Kelima, inverted common link, yaitu periwayat bersama
terbalik. Jika pada icl terdapat berbagai jalur tunggal yang berasal dari
berbagai saksi mata yang berbeda-beda, dan pada gilirannya masing-masing dari
mereka menyampaikannya kepada seorang murid saja.[21]
Istilah selanjutnya adalah single strand, yaitu hadits yang
diriwayatkan hanya dari satu jalur tunggal. Menurut Juynboll, hampir setiap
isnad menunjukan jalur tunggal yang merentang dari Nabi hingga para periwayat
yang menjadi titik temu yang disebut common link pada abad II H/VIII M. Common
link ini lah yang telah membuat hadis yang kemudian dinisbahkan kepada para
periwayat sebelumnya sampai kepada Nabi, kemudian ia menyampaikan hadis itu ke
periwayat berikutnya.[22]
Selain itu, setidaknya teori common link Juynboll memiliki tiga
temuan. 1) sistem isnad lahir belakangan, sekitar tahun 80-an abad pertama
hijriah. 2) fenomena penyandaran kepada otoritas yang lebih tinggi muncul pada
abad kedua atas. 3) terjadi pemalsuan isnad besar-besaran, jika bukan seluruhnya.
Teori ini memberikan implikasi yang luar biasa dalam bangunan metode kritik
hadits yang telah dipegangi para ulama selama berabad-abad. Selain, yang
terutama, meruntuhkan otentisitas hadits—baik dari sisi metodologi maupun
paktis--, teori ini berimplikasi kepada konsep mutawattir, diskursus
ilmu rijal hadits, dan ‘adalah sahabat. [23]
Selain itu, dikarenakan teori ini adalah teori yang dikembangkan dari
pendahulunya, maka teori ini pun berkaitan dengan teori lain yang juga sudah
ada sebelumnya, yakni teori backward-projection
dan argumen e-silentio. Teori yang pertama suau upaya, baik dari aliran
fikih klasik maupun dari para ahli hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin kepada
otoritas yang lebih tinggi agar dipercaya oleh generasi berikutnya. Namun, jika
hal ini benar-benar terjadi, mengapa mereka tidak memilih sahabat-sahabat yang lebih tua dari pada
sahabat-sahabat muda? Dalam kenyatannya, para sahabat yang seringkali dikutip
dalam isnad adalah sahabat muda seperti Abu Hurairoh dan Ibn Abbas, bukan
seperti Abu Bakar atau Utsman. Jika demikian, kemungkinan besar isnad-isnad itu
memang otentik.[24]
Keberatan lainnya yang perlu diajukan adalah mengapa terdapat sejumlah
hadits yang sama, baik dalam susunan maupun kandungannya dalam literatur hadits
yang dimiliki oleh aliran-aliran teologi Islam, seperti Sunni, Syi’ah, dan
Khawarij. Padahal aliran ini dikatakan ‘berperang’ satu sama lain. Selain itu,
para periwayat hadits berasal dari berbagai negri yang berbeda dan saling
berjauhan sehingga sulit rasanya membayangkan adanya pertemuan dan persetujuan
mereka untuk sama-sama memalsukan isnad.[25]
Sedang teori yang kedua, berangkat dari asumsi bahwa untuk membuktikan
sebuah hadits tidak ada masa tertentu adalah dengan menunjukkan bahwa hadits
itu tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang diharuskan
merujuk kepadanya. Menurut Zafar Anshari, setidaknya, teori ini bisa dibenarkan
jika memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut:[26]
1) Selama dua abad
pertama, ketika berbagai doktrin hukum mulai dihimpun, hadits-hadits yang
dipakai sebagai argumen untuk mendukungnya juga disebutkan secara konsisten.
2) Hadits yang diketahui
oleh seorang ahli hukum atau ahli hadits diketahui pula oleh seluruh ahli hukum
dan ahli hadits pada masanya.
3) Semua hadits yang
beredar pada masa tertentu dihimpun dan dipublikasikan secara luas serta
dipelihara sedemikian rupa sehingga jika seorang tidak menemukan sebuah hadits
dalam karya-karya para ulama terkemuka, maka hal itu merupakan bukti ketiadaan
suatu hadits di masa itu, di daerahnya, dan juga di dunia Islam.
Asumsi-asumsi di atas, menurut
Zafar Ishaq Anshari, tidak terpenuhi.
Metode
Pengaplikasian Teori Common Link: Rekonstruksi dan Analisis Isnad
Menurut Juynboll, metode kritik
isnad yang diterapkan oleh para ulama ahli hadits memiliki beberapa kelemahan. Pertama,
metode kritik isnad baru berkembang pada periode yang relatif sangat terlambat
bila dipakai sebagai alat yang memadai untuk memisahkan hadis palsu dan
otentik. Kedua, isnad hadits, sekalipun shahih dapat dengan mudah
dipalsukan. Ketiga, tidak diterapkannya kriteria yang tepat untuk
memeriksa matan hadits. Dari sini, ringkasnya Juynboll mengajukan
langkah-langkah berikut untuk meneliti hadits:[27]
1) Menentukan hadis yang
akan diteliti
2) Menelusuri hadits
dalam berbagai koleksi hadits
3) Menghimpun seluruh
isnad hadits
4) Menyusun dan
merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad
5) Mendeteksi common
link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits.
Sedangkan untuk meneliti matan, ia menetapkan beberapa langkah:[28]
1) Mencari matan yang
sejalan
2) Mengidentifikasi common
link yang terdapat pada matan yang sejalan
3) Menentukan common
link yang tertua
4) Menentukan bagian
teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan
Terlepas dari kemungkinan adanya kelemahan dan kekurangan hadits yang ada,
model analisis isnad yang ditawarkan Juynboll di atas, menurut A. Masrur, cukup
memuaskan para pengkaji hadits.[29]
Berbeda dengan analisis isnad, model analisis matan tampaknya kurang
dielaborasi dengan sungguh-sungguh. Model analisis matan Juynboll pada akhirnya
kembali lagi pada kepada model analisis isnad, yaitu mencari dan
mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan
dengan struktur dan kandungan hadis yang kurang mendapat perhatian yang memadai.
Oleh karena itu, tidak salah jika ia menyebut model analisisnya secara
keseluruhan dengan metode analisis
isnad.[30]
Maka, dalam upayanya memperbaiki metode analisis isnad Juynboll,
seorang orientalis bernama Motzki mengajukan suatu metode yang disebut analisis
isnad-cumn-matn. Metode ini bertujuan untuk menelusuri sejarah
periwayatan hadits dengan cara membandingakan varian-varian yang terdapat dalam
berbagai kompilasi yang berbeda-beda.
Tentu saja, metode ini tidak hanya menggunakan isnad, tetapi juga matan
hadits. Dalam mengamati varian-varian hadits yang dilengkapi dengan isnad,
metode ini berangkat dari asumsi dasar
bahwa berbagai varian dari sebuah
hadits, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari proses periwayatan
dan juga bahwa isnad dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya
sebagiannya merefleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.[31]
Metode isnad-cumn-matn menurut Motzki terdiri dari beberapa langkah
sebagai berikut:[32]
1) Mengumpulkan sebanyak
mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad
2) Menghimpun seluruh
jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang
berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hiotesis mengenai sejarah periwayatan
hadis mungkin diformulasikan. Akan tetapi, hal ini belum cukup dan harus
dilanjutkan dengan langkah berikutnya, yaitu.
3) Membandingkan
teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik
dalam struktur maupun susunan katanya. Langkah ini juga memungkinkan untuk
membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari hadits yang dibicarakan.
4) Membandingkan hasil
analisis isnad dan matan.
Dengan demikian, perbandingan dari analisis isnad dan matan akan
menghasilkan kesimpulan tentang kapan hadits tersebut mulai disebarkan; siapa
saja yang menjadi periwayat hadits tertua; bagaimana teks-teks itu mengalami
perubahan-perubahan tertentu pada jalur periwayatan tertentu; dan siapa yang
bertanggung jawab atas perubahan itu? Jika terdapat perbedaan pada hasil
analisis isnad dan matan tidak menunjukkan hasil yang sama, maka dapat disimpulkan
bahwa, baik isnad maupun matan sama-sama cacat, baik karena kecerobohan para
periwayat maupun karena perubahan-perubahan yang disengaja.
Implikasi
Teori Common Link Terhadap Hadits
Teori common link benar-benar
membawa implikasi yang berbeda dan, pada saat yang sama juga mengejutkan para
pengkaji hadits. Implikasi tersebut yang paling utama adalah mengenai sumber
dan asal-usul hadits. Ini adalah implikasi utama dari teori common link,
karena teori ini menyangkut sumber hadits. berdasarkan hasil temuannya,
Juynboll mengungkapkan bahwa setiap hadits yang terdapat dalam koleksi hadits,
kanonik sekalipun tidak bersumber dan berasal dari Nabi dan tidak pula Sahabat
Nabi. Nabi dan Sahabatnya tidak bertanggungjawab atas dimasukannya nama mereka
ke dalam isnad hadits. adapun yang bertanggung jawab adalah orang yang berperan
sebagai common link dalam bundel isnad. Dan yang menjadi common link dari
setiap hadits, menurut Juynboll, hampir tidak pernah seorang sahabat dan sangat
jarang tabi’in besar, tetapi hampir selalu seorang dari generasi tabi’in kecil
atau generasi setelah itu.
Kesimpulan di atas, terkait dengan pemahamannya terhadap kronologis isnad.
Ia memahami perkataan Ibn Sirrin (w. 110 H) sebagai berikut:
“Dulu orang-orang tidak bertanya tentang isnad.
Ketika terjadi fitnah, mereka berkata, “Jelaskan nama-nama isnad kalian! Jika
berasal dari ahl sunnah maka hadits kalian diterima, dan jika berasal dari ahl
bid’ah maka hadits kalian diabaikan.”[33]
Orientalis semacam Schacht
berpendapat bahwa yang dimaksud fitnah dalam ucapan Ibn Sirrin tersebut adalah
perang sipil ketiga, yang dimulai dengan terbunuhnya khalifah Bani Umayah,
Walid bin Yazid pada 126 H/743 M. Orientalis lain; yakni J. Robson berpendapat,
fitnah yang dimaksud adalah diproklamirkannya Abdullah bin Zubair sebagai
khalifah tandingan di Mekkah yang menantang kekuasaan Umayah di Damaskus dan
berakhir pada 73 H/693 M. Pendapat yang ketiga inilah yang dipilih Juynboll.[34]
Sedangkan Ahli hadis sepakat
bahwa yang dimaksud fitnah dalam ucapan Ibn Sirrin di atas adalah perang sipil
yang ditandai dengan terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan pada 34 H/656 M. [35]
Artinya, isnad itu sudah muncul dan menyebar sejak zaman para sahabat masih
hidup. Sebagai contoh, adalah apa yang disebutkan oleh Al-Hafizh Al-Dzahabi
sebagaimana dikutip Muhammad Mathar Al-Zahrani, “Abu Bakar Al-Shiddiq adalah
orang pertama yang berhati-hati menerima khabar (informasi/riwayat).”[36]
Ibn Syihab Al-Zuhri meriwayatkan dari Qubaishoh bin Dzuaib:
“Bahwasannya seorang nenek datang kepada Abu Bakar
untuk memohon perkara waris. Abu Bakar berkata, ‘Aku tidak menemukan satu ayat
pun—tentang bagianmu—dalam kitab Allah, aku juga tidak mengetahui bahwa
Rasulullah saw pernah menyebutkan bagianmu’. Lalu orang-orang bertanya.
Al-Mughiroh berdiri seraya berkata, ‘Aku hadir ketika Rasulullah saw memberi
bagian nenek dengan seperenam (1/6)’. Abu Bakar bertanya kepadanya, ‘Apakah ada
orang lain yang hadir bersamamu?’, lantas setelah itu Muhammad bin Maslamah
berdiri dengan kesaksian serupa. Maka Abu Bakar pun
memberikan—bagian—warisnya.”[37]
Dari sini, sebenarnya kita bisa menyimpulkan bahwa sanad/isnad, sekalipun
dalam bentuk sederhana sudah ada sejak zaman sahabat. Salah satunya sebagaimana
dalam riwayat di atas. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa apa yang dipahami
oleh para orientalis semacam Schacht atau pun Juynboll adalah keliru.
Penutup
Teori atau pemikiran dari G.H.A
Juynboll ini tidak terlepas dari adanya kontroversi. Baik di kalangan
orientalis sendiri, apa lagi bagi kalangan ilmuwan muslim. Dr. Ali Masrur dalam
penelitiannya terhadap Teori Common Link Juynboll menunujukan sikap
terbuka dan terkesan menerima teori tersebut. Beliau mengatakan:
Pada bab lima... dalam bab ini, penulis
membuktikan bahwa teori common link dapat diterima kebenarannya sebagai alat
untuk menelusuri asal-usul hadits Nabi. Hanya saja, terdapat beberapa anomali
dan misinterpretasi Juynboll tentang fenomena common link yang tampaknya
memerlukan beberapa perbaikan.[38]
Sedang Prof. Syamsuddin Arif
ketika berbicara tentang Orientalis dan Hadits Nabi dalam bukunya “Orientalis
dan Diabolisme Pemikiran” sejalan dengan M. Azami, yakni lebih cenderung a
priori dengan menolak mentah-mentah teori para orientalis tak terkecuali
Juynboll. Secara ringkas beliau menunjukkan kekeliruan metodologi dan
epitemologis para orientalis semacam “argumen e silentio” (alasan
ketiadaan bukti) dan sikap ambivalen mereka. Beliau mengatakan: [39]
Kerapuhan metodologi ini tidak terlalu
mengejutkan, karena Schacht dan orang-orang semacam dia memang berangkat dari
niat buruk (malintention) untuk merobohkan pilar-pilar Islam, agama yang
dikagumi namun amat dibencinya itu... karena dipandu niat buruk, maka kajiannya
pun diwarnai sikap pura-pura tidak tahu (wilful ignorance) dengan
sengaja mengabaikan data yang tidak mendukung asumsinya-asumsinya dan
memanipulasi bukti-bukti yang ada...
...sikap ambivalen orientalis terungkap jelas,
misalnya dalam kasus Juynboll, Coulson, dan Motzki. Ketiga orientalis ini
tampak “plin-plan”, membenarkan dua tesis yang saling bertentangan nilainya.
Coulson misalnya sependapat dengan mereka yang membenarkan validitas teori
Scahcht maupun mereka yang menyalahkannya.
...demikian pula Juynboll yang merasa serba salah
(serba ragu?) dan mengatakan bahwa sulit untuk memercayai kebenaran dan
historisitas hadits, namun juga menyatakan bahwa secara keseluruhan
hadits-hadits itu menggambarkan situasi sejarah yang boleh dikata cukup bisa
dipercaya.
Adapun secara epistemologis,
menurut Prof. Syamsuddin Arif, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap
orientalis dari awal hingga akhir penelitiannya adalah skeptis. Mulai dari
keraguan dan berakhir dengan keraguan. Lebih jauh lagi, menurutnya, serangan
terhadap hadits (bahkan mungkin kajian keislaman lainnya—penj-)
dilancarkan secara bertahap, terencana, dan bersama-sama. Ada yang menyerang matan
(Sprenger, Muir, Goldzhiher), dan juga isnad (Horovitz, Schacht,
Juynboll). Serangan mereka diarahkan ke semua bidang atau kategori. Wallahu
A’lam.
[1] Mahasiswa semester 8 Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAI) Persatuan Islam Garut prodi Tafsir Hadits (2011-2-015 M).
[2] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalisme Dan
Diabolisme Pemikiran, Jakarta, Gema Insani Press, Cetakan pertama, thn.
2008, hal. 21.
[3] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll:
Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta, LKiS, cetakan pertama,
thn. 2007, hal. 15. (Buku ini semula adalah sebuah penelitian disertasi yang
diajukan kepada program pasca sarjana IAIN Sunan Kalijaga sebagai salah satu
syarat meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu Agama Islam. Buku tersebut semula berjudul
“Asal Usul Hadits: Telaah Atas Teori Common Link G.H.A Juynboll”, IAIN
Yogyakarta, thn. 2004).
[4] Ibid.
Uraian-uraian atau penjelasan mengenai biografi G.H.A Juynboll termasuk sulit
didapat, sebabnya karena memang terhitung jarang—jika bukan tidak/belum
ada—satu literatur khusus yang menguraikan biografi atau riwayat hidupnya. Ini
sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Dr. Ali Masrur ketika menguraikan biografi
Juynboll. Beliau menyampaikan tiga sebab sulitnya mencari data-data tentang
kehidupan orientalis yang satu ini. Pertama, tidak/belum ada tulisan
yang secara lengkap mengungkapkan riwayat kehidupannya. Kedua, Juynboll
sendiri menjelaskan karir ilmiahnya secara singkat. Ketiga, Juynboll
bukanlah dosen tetap di sebuah universitas tertentu. Ia hanya seorang privat
schoolar. Akibatnya, ia tidak pernah menduduki jabatan struktural akademis.
Kegiatannya hanya terbatas pada penelitian dan seminar. Kalaupun mengajar, itu
dilakukan sesekali saja dalam bentuk studium general. Tak pelak, kesulitan ini
pun ditemui oleh orang-orang yang hendak menguraikan biografi Juynboll—termasuk
penulis. Uraian-uraian dalam beberapa tulisan yang penulis dapat pun semuanya
merujuk kepada buku karya Dr. Ali Masrur di atas. Maka, uraian tentang biografi
Juynboll dalam makalah ini pun sebenarnya sangat layak disebut resume atau
ringkasan saja dari apa yang diuraikan buku tersebut.
[6] Lihat G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di
Mesir (1980-1960), Bandung, Mizan, cetakan pertama, thn. 1420 H/2004 1999 M
(Terj. Oleh: Ilyas Hasan).
[8] Pernyataan ini disampaikan melalui pesan e-mail
sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan Dr. Ali Masrur berkenaan dengan
riwayat kehidupannya. Lihat buku Teori Common Link G.H.A Juynboll, pada
foot note (catatan kaki) no. 8.
[9] Maribel Fierro, Gautier Juynboll: Memories From
a Spanish Colleague And Friend, hal. 1 (t.d)
[10] M. Anwar Syarifuddin, Kajian
Orientalis Terhadap al-Quran dan Hadits, Jakarta, UIN Syarif Hidayatulloh,
thn. 2011-2013, hal. 145. Untuk lebih lengkap lihat kembali Ali Masrur dalam “Teori
Common Link Juynboll...”
[11] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal.
XXII.
[12] Ibid. Mengutip dari Joseph Schacht, The Origins of
Muhammadan Jurisprudence, Oxford, Clarendon Press, thn, 1950, hal. 172
[14] Ibid, hal.
60. Untuk lebih jelasnya, lihat M. M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah
Kodifikasinya, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet. 6, thn. 2014, hal. 557-562.
Alih bahasa dari versi aslinya berjudul “Diraasat fii al-Ahadith al-Nabawi
wa Tarikh Tadwinih” atau “Studies In Early Hadith Literature” oleh
Prof. H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
[17] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalisme Dan
Diabolisme Pemikiran, hal. 32-33.
[18] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal.
63. Mengutip dari G.H.A. Juynboll, “Early Islamic Society”...,hal. 153
dan “Some Isnad-Analytical Methods...”, hal. 296.
[22] Idri, Hadits Ahad Dan Mutawattir Menurut Ulama Hadis
Dan Teori Common Link G.H.A Juynboll: Sebuah Studi Komparatif, hal. 10
(t.d).
[33] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut,
Dar Ihya Al-Turats Al-‘Araby, jld. 1, hal. 15 (Maktabah Syamilah). Lihat juga
Ibn Rajab Al-Hanbaly, Syarah ‘Ilal Al-Tirmidzi, Ardan, Maktab Al-Manar,
cetakan pertama, thn. 1407 H/1987 M, hal. 354.
[34] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal.
107.
[36] Muhammad Mathar Al-Zahrani, Ilmu
Al-Rijal; Nasyatuhu Wa Tathawwuruhu min Al-Qurun Al-Awwal ila Nihayah Al-Qarni
Al-Tasi’, Madinah, Dar Al-Khudlairi, cet. 2, thn. 1998 M/1419 H, hal. 21.
[38] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A
Juynboll, hal. 14.
0 komentar:
Posting Komentar