Rabu, 21 Oktober 2015

Hadits Nabi Dalam Sorotan: Sebuah Pengantar Menjelajah Pemikiran G.H.A Juynboll Tentang Otentisitas Hadits



Pengantar
               
“Kenali Musuhmu” (Know your Enemies) adalah semboyan dari missionaris di balik kegigihan mereka dalam mengkaji Islam beserta seluk beluknya dari segala aspek. Adalah naive apabila kita bersangka baik dan menelan mentah-mentah apa yang dikatakan oleh orang-orang yang tak kan pernah ridha dan senantiasa memusuhi kita. Lebih celaka lagi jika kita mengamini seraya meniru-niru (parroting) melakukan apa yang mereka kerjakan, seperti menghina Rasulullah saw, memburuk-burukkan para Sahabat dan Tabi’in, meremehkan para ulama salaf, meragukan otoritas dan otentisitas tradisi keilmuan Islam, lalu mau membuat critical edition of al-Quran, menolak hadits (inkar al-sunnah), membuat tafsir dan hukum sendiri mengikuti hawa nafsu yang sesat dan menyesatkan. Demikian kurang lebih apa yang pernah disampaikan oleh Dr. Syamsuddin Arif dalam buku “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”.[2] Nama-nama seperti Ignas Goldziher, Alois Sprenger, Sir William Muir, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll adalah termasuk bagian di dalamnya.

                Sebagai orientalis yang mencurahkan separuh dari hidupnya untuk mengkaji hadits, juga sebagai peneliti dan pengembang dari teori pendahulunya—khususnya Schacht—, Nama yang terakhir disebut beserta pemikiran dan teori-teorinya tentang otentisitas hadits Nabi layak untuk dikedepankan. Selain karena teori Common Linknya masih terbilang ‘hangat’ untuk diperbincangkan, orientalis Belanda yang satu ini juga, posisinya sudah disejajarkan dengan nama-nama sekaliber James Robson, Fazlur Rahman, M.M. Azami, dan Michael Cook. Dia lah G.H.A. Juynboll.

Selayang Pandang Biografi G.H.A Juynboll
                Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith. Sebagaimana dikutip oleh Dr. Ali Masrur, Juynboll mengklaim telah menjelaskan perkembangan penelitiannya atas literatur hadis secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an hingga 1996.[4]
                Semasa menjadi mahasiswa S1, Juynboll bergabung bersama  sekelompok kecil orang untuk mengedit satu karya yang kemudian menghasilkan separo akhir dari kamus hadits, Concordanes et indices de la tradition musulmane, tepatnya dari pertengahan huruf hingga akhir karya tersebut. Pada 1965-1966, dengan dana bantuan dari The Netherlands Organization for the Advancerment of Pure Research (ZWO), Juynboll tinggal di Mesir untuk melakukan penelitian disertasi mengenai pandangan para teolog Mesir terhadap literatur hadits. akhirnya disertasi yang disusunnya itu dapat dipertahankan di depan Komisi Senat pada kamis, 27 Maret 1969, pukul 14.15, dalam rangka meraih gelar Doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Universitas Negri Leiden, Belanda.[5]
                Disertasi yang dimaksud berjudul “The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt”. Diterbitkan oleh E. J. Brill Leiden, thn. 1969. Disertasi ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kontroversi Hadis di Mesir (1880-1960). Disertasi ini mengkaji pendapat-pendapat para teolog muslim Mesir tentang keshahihan hadits Nabi. Ia juga menyampaikan pendapat para orientalis seperti Alois Sprenger, orang yang pertama mengatakan sebagian hadits sebagai palsu, G Weil, W. Muir, dan R.P.A Dozy yang menyatakan, bahwa setidak-tidaknya separoh hadits yang terdapat dalam koleksi al-Bukhari adalah otentik.[6]
                Juynboll kemudian melakukan berbagai penelitian mengenai berbagai persoalan, baik klasik maupun kontemporer. Tahun 1974, ia menulis makalah bertitel: “On the Origins of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku “Studies on the First Century of Islamic Society. Sejak saat itu lah ia memusatkan perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah meninggalkannya lagi. Bahkan dalam beberapa kesempatan ia sering mengatakan, “Seluruhnya akan kupersembahkan untuk hadits Nabi”.[7]
                Selain itu, ia mengajar di berbagai Universitas di Belanda. Namun, kegiatan mengajar dan membimbing para mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya. Sebagai seorang ilmuwan, ia lebih cenderung menjadi private scholar, tidak terikat dengan univeritas mana pun. Sebagai akibatnya, ia tidak memiliki jabatan akademis sebagaimana ilmuwan besar lainnya. Sebagaimana yang ia sampaikan dalam salah satu pernyataannya, “... I am private Scholar without connections with university”.[8] Kegiatan sehari-harinya adalah sebagai daily visitor di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, untuk melakukan penelitian hadits, khususnya di ruang koleksi perpustakaan Timur Tengah Klasik (Oriental Reading Room), di bawah seorang supervisor bernama Hans van de Velde. Di usianya yang telah menginjak 69 tahun, Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 NL-2313 HW Leiden, Belanda.
                G.H.A Juynboll meninggal pada 19 Desember 2010.[9] Selama hidupnya, beberapa karya yang telah ia sumbangkan untuk kajian hadits—khusunya di Barat—adalah sebagai berikut:
·         The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt (1969)
·         Studies on the First Century of Islamic Society (1982)
·         Muslim Traditions: Studies in Chronology Provenance and Authorship of Early Hadith (1985)
·         Studies on the Origins and Use of Islamic Hadith (1996)
Sedangkan tulisan-tulisannya dalam bentuk artikel mengenai berbagai tema kajian hadith, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
·         Ahmad Muhammad Shakir (1892-1958) and His Edition of Ibn Hanbal’s Musnad pada tahun 1972.
·         Muslim Introduction to His Sahih pada tahun 1984.
·         Analysing Isnad in Hadith and Akhbar Literature pada tahun 1991.
·         Some Notes on Islam’s First Fuqaha’ Distilled From Early Hadith Literature pada tahun 1992.
·         Nafi, the mawla of Ibn Umar and His Position in Muslim Hadith Literature pada tahun 1993. Dan sebagainya.
Beberapa tulisannya dalam bidang lain seperti studi al-Quran, fikih, dan historiografi, di antaranya adalah Review of Quranic: Sources and Methods of Scriptural Interpretation by Jhon Wansbrough, Review of the Sectarian Milieu: Content and Composition os Islamic Salvation Histtory, Some Trought on Early Muslim Histiriography, dan New Perspective in the Study of Early Islamic Jurisprudence.[10]
Demikian sekelumit tentang biografi dan beberapa karya Juynboll. Selanjutnya, karena bisa dikatakan bahwa ia termasuk orientalis yang konsen mengkaji hadits dari aspek sanadnya, maka dalam pembahasan selanjutnya akan diuraikan penjelasan tentang teori sanad yang menjadi inti dari gagasan dan pemikiran Juynboll, yaitu teori common link (tokoh penghubung).

 Prof. Joseph Schacht: Sang Penggagas Teori Common Link
                Prof. Joseph Schacht adalah orientalis pertama yang membicarakan tentang common link (tokoh penghubung) dalam sanad atau periwayatan hadits. ini sebagaimana diakui sendiri oleh Juynboll; bahwa dirinya hanyalah seorang pengembang dan bukan penemu dari teori tersebut, kendati Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Oleh karena itu, secara definitif, common link dapat didefinisikan sebagai teori Joseph Schacht yang dikembangkan oleh Juynboll, dengan asumsi dasar yang menyatakan bahwa semakin banyak jalur isnad yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju atau meninggalkannya, semakin besar seorang periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.[11] Singkatnya, teori ini berbicara tentang penanggalan hadits, di mana masa hidup seorang periwayat dalam rantai sanad yang menjadi common link dianggap sebagai masa kemunculan hadits tersebut.
                Dr. Ali Masrur mengungkapkan, sebenarnya sejak awal fenomena common link sudah dikenal oleh para ulama ahli hadits. Imam Tirmidzi dalam koleksi haditsnya menyebut hadits-hadits yang menunjukkan adanya seorang periwayat tertentu, si A misalnya, sebagai common link dalam isnad-nya, dengan “hadits-hadits si A”. istilah yang dipakai oleh Imam Tirmidzi untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah madar (poros). Hadits itu membentuk sebagian besar hadits gharib, yaitu yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tunggal pada thabaqoh (tingkatan) isnad tertentu. Namun, kelihatannya para ahli hadits tidak begitu menyadari sepenuhnya implikasi dari gejala tersebut terhadap problem penanggalan hadits.[12]
                Schacht mengemukakan contoh yang menunjukan gejala common link atau dengan istilah lalin, common transmitter. Dalam karya Imam Syafi’i, kitab ikhtilaf al-Hadits, terdapat sebuah hadits yang memiliki isnad sebagai berikut:

Text Box: Muththalib

               
Dalam pohon isnad di atas, Amr bin Abi Amir merupakan common link (tokoh penghubung) dari seluruh jalur isnad hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i. Amr lah yang membuat hadits tersebut bersambung dengan Jabir hingga ke Nabi. Bagian bawah Isnad tersebut adalah bagian yang otentik, sementara bagian atas merupakan buatan Amr semata. Dalam upaya memperbaiki isnad, Amr juga mengemukakan jalur-jalur tambahan, yakni jalur dari seorang laki-laki Bani Salamah. Dengan demikian hadits ini sebenarnya bersumber dari  dan berasal dari Amr bin Abi Amr karena dia lah orang pertama yang menyebarkan hadits kepada beberapa periwayat hadits berikutnya, dan bukan dari Muththalib, Jabir, atau bahkan dari Nabi.[13]
                M. M Azami mengkritik pemaparan Schacht di atas. Menurutnya, kesimpulan Schacht tidak berdasar dengan beberapa alasan. Pertama, dalam pohon sanad di atas, digambarkan seolah Amr meriwayatkan dari tiga guru, yaitu Muththalib yang disebutkan dua kali dan dari seorang laki-laki Bani Salamah. Kedua, Schacht kelihatannya tidak memahami teks dalam kitab ikhtilaf. Dalam buku ini, al-Syafi’i sebenarnya ingin membandingkan tiga murid Amr  dan menyalahkan Abd Aziz yang menyebut seorang laki-laki Bani Salamah sebagai guru Amr. Di sisi lain, Ibrahim bin Yahya adalah periwayat yang lebih kuat dari Abd Aziz, lebih-lebih pernyataannya didukung oleh Sulaiman. Oleh karena itu, Amr sebenarnya menerima jalur tersebut hanya dari satu jalur, yaitu Muththalib-Jabir-Nabi.[14]
                Demikian kritik yang disampaikan oleh M.M Azami. Kritik ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa kesimpulan Schacht salah. Namun, menurut Dr. Ali Masrur, jika diperhatikan kembali dengan cermat, kritik Azami ternyata masih harus dikoreksi. Pasalnya, sekalipun bantahan Azami bahwa Amr bin Abi Amr menerima hadits hanya dari satu jalur itu benar, yaitu Muththalib-Jabir-Nabi. Namun menurut teori Schacht, Amr tetaplah Common link (tokoh penghubung) dalam rantai isnad tersebut. Dan ini belum menjawab persoalan.[15]
Lebih lanjut menurut Scahcht, bahwa teori common link dapat dipakai untuk memberikan penanggalan terhadap hadits –hadits dan doktrin-doktrin para ahli fikih. Penjelasan mengenai kepalsuan isnad bagian atas seharusnya mengubah sikap penerimaan yang tidak kritis terhadap isnad. Selain itu ada kemungkinan bahwa nama common link hanya digunakan oleh orang lain yang tak dikenal, dengan demikian kemunculannya hanya sebatas status quo, khususnya periode tabi’in.[16]
                Sampai di sini, teori Schacht di atas, mengambil cukup banyak bagian untuk mendorongnya mengatakan bahwa tidak ada satu pun hadits yang bernar-benar otentik berasal dari Nabi saw. Kalau pun ada, jumlahnya amat sedikit sekali.

G.H.A Juynboll: Teori Common Link di Tangan Sang Pengembang
                Selain oleh Azami, pemikiran-pemikiran Schacht juga sudah banya dibantah oleh ilmuwan-ilmuwan lainnya seperti Muhammad Abu Zahroh dan Zafar Ishaq Anshari. Tak ketinggalan dari kalangan orientalis sendiri kritik kepada Schacht disampaikan pula oleh Coulson, Cook, Motzki, dan Rubin.[17] Namun kendati banyak dikritik, teori Schacht terus diadopsi dan dikembangkan oleh Juynboll. Ditangannya, toeri ini terus hidup dan menemukan bentuknya yang lebih baik dari sebelumnya.
                Menurut Dr Ali Masrur, dalam beberapa tulisannya, Juynboll sering kali mengemukakan sebuah asumsi dasar yang menjadi pijakannya dalam meneliti hadis serta memperkenalkan beberapa istilah teknis yang relatif baru, yang berhubungan erat dengan teori common link. Prinsip itu mengatakan, The more tranmission lines come together in one transmitter, either reaching him or going away from him, the more this transmitter and his transmission have a claim to historicity.[18] Dari sini, Juynboll hendak mengatakan bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju atau meninggalkannya, maka semakin besar pula seorang periwayat[19]
                Istilah yang relatif baru dari Juynboll yaitu; pertama, partial common link (sebagian periwayat bersama yang selanjutnya disebut pcl). Pcl adalah seorang yang menerima hadits dari seorang (atau lebih) guru yang berstatus cl atau yang lain, kemudian menyampaikannya kepada dua murid atau lebih. Kedua, inverted partial common link, yaitu periwayat yang menerima laporan lebih dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya kepada (jarang lebih dari) seorang murid. Ketiga, diving, yaitu jalur penyelam; jalur isnad yang melewati cl. Fenomena ini menurut Juynboll muncul belakangan pada akhir abad ke dua hijriah dan terbagi kepada tiga macam, 1) jalur penyelam yang berakhir pada tabi’in awal. 2) yang berakhir pada sahabat. 3) yang berakhir pada Nabi. Keempat, spider, fenomena ini sekilas menunjukkan tokoh kunci yang tampak sebagai cl, yang darinya muncul beberapa jalur isnad mulai menyebar, dan pada gilirannya sampai pada sejumlah koleksi hadits. Akan tetapi setelah diamati secara seksama, ternyata seluruh atau hampir seluruh jalur isnad tersebut terdiri dari jalur tunggal, yakni tidak seorang periwayat pun yang memiliki lebih dari seorang murid.[20] Kelima, inverted common link, yaitu periwayat bersama terbalik. Jika pada icl terdapat berbagai jalur tunggal yang berasal dari berbagai saksi mata yang berbeda-beda, dan pada gilirannya masing-masing dari mereka menyampaikannya kepada seorang murid saja.[21]
Istilah selanjutnya adalah single strand, yaitu hadits yang diriwayatkan hanya dari satu jalur tunggal. Menurut Juynboll, hampir setiap isnad menunjukan jalur tunggal yang merentang dari Nabi hingga para periwayat yang menjadi titik temu yang disebut common link pada abad II H/VIII M. Common link ini lah yang telah membuat hadis yang kemudian dinisbahkan kepada para periwayat sebelumnya sampai kepada Nabi, kemudian ia menyampaikan hadis itu ke periwayat berikutnya.[22]
Selain itu, setidaknya teori common link Juynboll memiliki tiga temuan. 1) sistem isnad lahir belakangan, sekitar tahun 80-an abad pertama hijriah. 2) fenomena penyandaran kepada otoritas yang lebih tinggi muncul pada abad kedua atas. 3) terjadi pemalsuan isnad besar-besaran, jika bukan seluruhnya. Teori ini memberikan implikasi yang luar biasa dalam bangunan metode kritik hadits yang telah dipegangi para ulama selama berabad-abad. Selain, yang terutama, meruntuhkan otentisitas hadits—baik dari sisi metodologi maupun paktis--, teori ini berimplikasi kepada konsep mutawattir, diskursus ilmu rijal hadits, dan ‘adalah sahabat. [23]
Selain itu, dikarenakan teori ini adalah teori yang dikembangkan dari pendahulunya, maka teori ini pun berkaitan dengan teori lain yang juga sudah ada  sebelumnya, yakni teori backward-projection dan argumen e-silentio. Teori yang pertama suau upaya, baik dari aliran fikih klasik maupun dari para ahli hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin kepada otoritas yang lebih tinggi agar dipercaya oleh generasi berikutnya. Namun, jika hal ini benar-benar terjadi, mengapa mereka tidak memilih  sahabat-sahabat yang lebih tua dari pada sahabat-sahabat muda? Dalam kenyatannya, para sahabat yang seringkali dikutip dalam isnad adalah sahabat muda seperti Abu Hurairoh dan Ibn Abbas, bukan seperti Abu Bakar atau Utsman. Jika demikian, kemungkinan besar isnad-isnad itu memang otentik.[24]
Keberatan lainnya yang perlu diajukan adalah mengapa terdapat sejumlah hadits yang sama, baik dalam susunan maupun kandungannya dalam literatur hadits yang dimiliki oleh aliran-aliran teologi Islam, seperti Sunni, Syi’ah, dan Khawarij. Padahal aliran ini dikatakan ‘berperang’ satu sama lain. Selain itu, para periwayat hadits berasal dari berbagai negri yang berbeda dan saling berjauhan sehingga sulit rasanya membayangkan adanya pertemuan dan persetujuan mereka untuk sama-sama memalsukan isnad.[25]
Sedang teori yang kedua, berangkat dari asumsi bahwa untuk membuktikan sebuah hadits tidak ada masa tertentu adalah dengan menunjukkan bahwa hadits itu tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang diharuskan merujuk kepadanya. Menurut Zafar Anshari, setidaknya, teori ini bisa dibenarkan jika memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut:[26]
1)     Selama dua abad pertama, ketika berbagai doktrin hukum mulai dihimpun, hadits-hadits yang dipakai sebagai argumen untuk mendukungnya juga disebutkan secara konsisten.
2)     Hadits yang diketahui oleh seorang ahli hukum atau ahli hadits diketahui pula oleh seluruh ahli hukum dan ahli hadits pada masanya.
3)     Semua hadits yang beredar pada masa tertentu dihimpun dan dipublikasikan secara luas serta dipelihara sedemikian rupa sehingga jika seorang tidak menemukan sebuah hadits dalam karya-karya para ulama terkemuka, maka hal itu merupakan bukti ketiadaan suatu hadits di masa itu, di daerahnya, dan juga di dunia Islam.
                Asumsi-asumsi di atas, menurut Zafar Ishaq Anshari, tidak terpenuhi.

Metode Pengaplikasian Teori Common Link: Rekonstruksi dan Analisis Isnad
                Menurut Juynboll, metode kritik isnad yang diterapkan oleh para ulama ahli hadits memiliki beberapa kelemahan. Pertama, metode kritik isnad baru berkembang pada periode yang relatif sangat terlambat bila dipakai sebagai alat yang memadai untuk memisahkan hadis palsu dan otentik. Kedua, isnad hadits, sekalipun shahih dapat dengan mudah dipalsukan. Ketiga, tidak diterapkannya kriteria yang tepat untuk memeriksa matan hadits. Dari sini, ringkasnya Juynboll mengajukan langkah-langkah berikut untuk meneliti hadits:[27]
1)     Menentukan hadis yang akan diteliti
2)     Menelusuri hadits dalam berbagai koleksi hadits
3)     Menghimpun seluruh isnad hadits
4)     Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad
5)     Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits.
Sedangkan untuk meneliti matan, ia menetapkan beberapa langkah:[28]
1)  Mencari matan yang sejalan
2)  Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan
3)  Menentukan common link yang tertua
4)  Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan
Terlepas dari kemungkinan adanya kelemahan dan kekurangan hadits yang ada, model analisis isnad yang ditawarkan Juynboll di atas, menurut A. Masrur, cukup memuaskan para pengkaji hadits.[29] Berbeda dengan analisis isnad, model analisis matan tampaknya kurang dielaborasi dengan sungguh-sungguh. Model analisis matan Juynboll pada akhirnya kembali lagi pada kepada model analisis isnad, yaitu mencari dan mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan dengan struktur dan kandungan hadis yang kurang mendapat perhatian yang memadai. Oleh karena itu, tidak salah jika ia menyebut model analisisnya secara keseluruhan  dengan metode analisis isnad.[30]
Maka, dalam upayanya memperbaiki metode analisis isnad Juynboll, seorang orientalis bernama Motzki mengajukan suatu metode yang disebut analisis isnad-cumn-matn. Metode ini bertujuan untuk menelusuri sejarah periwayatan hadits dengan cara membandingakan varian-varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi  yang berbeda-beda. Tentu saja, metode ini tidak hanya menggunakan isnad, tetapi juga matan hadits. Dalam mengamati varian-varian hadits yang dilengkapi dengan isnad, metode ini berangkat dari asumsi dasar  bahwa berbagai varian  dari sebuah hadits, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari proses periwayatan dan juga bahwa isnad dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya sebagiannya merefleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.[31]
Metode isnad-cumn-matn menurut Motzki terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut:[32]
1)     Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad
2)     Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hiotesis mengenai sejarah periwayatan hadis mungkin diformulasikan. Akan tetapi, hal ini belum cukup dan harus dilanjutkan dengan langkah berikutnya, yaitu.
3)     Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya. Langkah ini juga memungkinkan untuk membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari hadits yang dibicarakan.
4)     Membandingkan hasil analisis isnad dan matan.
Dengan demikian, perbandingan dari analisis isnad dan matan akan menghasilkan kesimpulan tentang kapan hadits tersebut mulai disebarkan; siapa saja yang menjadi periwayat hadits tertua; bagaimana teks-teks itu mengalami perubahan-perubahan tertentu pada jalur periwayatan tertentu; dan siapa yang bertanggung jawab atas perubahan itu? Jika terdapat perbedaan pada hasil analisis isnad dan matan tidak menunjukkan hasil yang sama, maka dapat disimpulkan bahwa, baik isnad maupun matan sama-sama cacat, baik karena kecerobohan para periwayat maupun karena perubahan-perubahan yang disengaja.
                 
Implikasi Teori Common Link Terhadap Hadits
                Teori common link benar-benar membawa implikasi yang berbeda dan, pada saat yang sama juga mengejutkan para pengkaji hadits. Implikasi tersebut yang paling utama adalah mengenai sumber dan asal-usul hadits. Ini adalah implikasi utama dari teori common link, karena teori ini menyangkut sumber hadits. berdasarkan hasil temuannya, Juynboll mengungkapkan bahwa setiap hadits yang terdapat dalam koleksi hadits, kanonik sekalipun tidak bersumber dan berasal dari Nabi dan tidak pula Sahabat Nabi. Nabi dan Sahabatnya tidak bertanggungjawab atas dimasukannya nama mereka ke dalam isnad hadits. adapun yang bertanggung jawab adalah orang yang berperan sebagai common link dalam bundel isnad. Dan yang menjadi common link dari setiap hadits, menurut Juynboll, hampir tidak pernah seorang sahabat dan sangat jarang tabi’in besar, tetapi hampir selalu seorang dari generasi tabi’in kecil atau generasi setelah itu.
Kesimpulan di atas, terkait dengan pemahamannya terhadap kronologis isnad. Ia memahami perkataan Ibn Sirrin (w. 110 H) sebagai berikut:

“Dulu orang-orang tidak bertanya tentang isnad. Ketika terjadi fitnah, mereka berkata, “Jelaskan nama-nama isnad kalian! Jika berasal dari ahl sunnah maka hadits kalian diterima, dan jika berasal dari ahl bid’ah maka hadits kalian diabaikan.”[33]

                Orientalis semacam Schacht berpendapat bahwa yang dimaksud fitnah dalam ucapan Ibn Sirrin tersebut adalah perang sipil ketiga, yang dimulai dengan terbunuhnya khalifah Bani Umayah, Walid bin Yazid pada 126 H/743 M. Orientalis lain; yakni J. Robson berpendapat, fitnah yang dimaksud adalah diproklamirkannya Abdullah bin Zubair sebagai khalifah tandingan di Mekkah yang menantang kekuasaan Umayah di Damaskus dan berakhir pada 73 H/693 M. Pendapat yang ketiga inilah yang dipilih Juynboll.[34]
                Sedangkan Ahli hadis sepakat bahwa yang dimaksud fitnah dalam ucapan Ibn Sirrin di atas adalah perang sipil yang ditandai dengan terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan pada 34 H/656 M. [35] Artinya, isnad itu sudah muncul dan menyebar sejak zaman para sahabat masih hidup. Sebagai contoh, adalah apa yang disebutkan oleh Al-Hafizh Al-Dzahabi sebagaimana dikutip Muhammad Mathar Al-Zahrani, “Abu Bakar Al-Shiddiq adalah orang pertama yang berhati-hati menerima khabar (informasi/riwayat).”[36] Ibn Syihab Al-Zuhri meriwayatkan dari Qubaishoh bin Dzuaib:
“Bahwasannya seorang nenek datang kepada Abu Bakar untuk memohon perkara waris. Abu Bakar berkata, ‘Aku tidak menemukan satu ayat pun—tentang bagianmu—dalam kitab Allah, aku juga tidak mengetahui bahwa Rasulullah saw pernah menyebutkan bagianmu’. Lalu orang-orang bertanya. Al-Mughiroh berdiri seraya berkata, ‘Aku hadir ketika Rasulullah saw memberi bagian nenek dengan seperenam (1/6)’. Abu Bakar bertanya kepadanya, ‘Apakah ada orang lain yang hadir bersamamu?’, lantas setelah itu Muhammad bin Maslamah berdiri dengan kesaksian serupa. Maka Abu Bakar pun memberikan—bagian—warisnya.”[37]
Dari sini, sebenarnya kita bisa menyimpulkan bahwa sanad/isnad, sekalipun dalam bentuk sederhana sudah ada sejak zaman sahabat. Salah satunya sebagaimana dalam riwayat di atas. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa apa yang dipahami oleh para orientalis semacam Schacht atau pun Juynboll adalah keliru.

Penutup
                Teori atau pemikiran dari G.H.A Juynboll ini tidak terlepas dari adanya kontroversi. Baik di kalangan orientalis sendiri, apa lagi bagi kalangan ilmuwan muslim. Dr. Ali Masrur dalam penelitiannya terhadap Teori Common Link Juynboll menunujukan sikap terbuka dan terkesan menerima teori tersebut. Beliau mengatakan:

Pada bab lima... dalam bab ini, penulis membuktikan bahwa teori common link dapat diterima kebenarannya sebagai alat untuk menelusuri asal-usul hadits Nabi. Hanya saja, terdapat beberapa anomali dan misinterpretasi Juynboll tentang fenomena common link yang tampaknya memerlukan beberapa perbaikan.[38]

                Sedang Prof. Syamsuddin Arif ketika berbicara tentang Orientalis dan Hadits Nabi dalam bukunya “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran” sejalan dengan M. Azami, yakni lebih cenderung a priori dengan menolak mentah-mentah teori para orientalis tak terkecuali Juynboll. Secara ringkas beliau menunjukkan kekeliruan metodologi dan epitemologis para orientalis semacam “argumen e silentio” (alasan ketiadaan bukti) dan sikap ambivalen mereka. Beliau mengatakan: [39]

Kerapuhan metodologi ini tidak terlalu mengejutkan, karena Schacht dan orang-orang semacam dia memang berangkat dari niat buruk (malintention) untuk merobohkan pilar-pilar Islam, agama yang dikagumi namun amat dibencinya itu... karena dipandu niat buruk, maka kajiannya pun diwarnai sikap pura-pura tidak tahu (wilful ignorance) dengan sengaja mengabaikan data yang tidak mendukung asumsinya-asumsinya dan memanipulasi bukti-bukti yang ada...

...sikap ambivalen orientalis terungkap jelas, misalnya dalam kasus Juynboll, Coulson, dan Motzki. Ketiga orientalis ini tampak “plin-plan”, membenarkan dua tesis yang saling bertentangan nilainya. Coulson misalnya sependapat dengan mereka yang membenarkan validitas teori Scahcht maupun mereka yang menyalahkannya.

...demikian pula Juynboll yang merasa serba salah (serba ragu?) dan mengatakan bahwa sulit untuk memercayai kebenaran dan historisitas hadits, namun juga menyatakan bahwa secara keseluruhan hadits-hadits itu menggambarkan situasi sejarah yang boleh dikata cukup bisa dipercaya.

                Adapun secara epistemologis, menurut Prof. Syamsuddin Arif, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal hingga akhir penelitiannya adalah skeptis. Mulai dari keraguan dan berakhir dengan keraguan. Lebih jauh lagi, menurutnya, serangan terhadap hadits (bahkan mungkin kajian keislaman lainnya—penj-) dilancarkan secara bertahap, terencana, dan bersama-sama. Ada yang menyerang matan (Sprenger, Muir, Goldzhiher), dan juga isnad (Horovitz, Schacht, Juynboll). Serangan mereka diarahkan ke semua bidang atau kategori. Wallahu A’lam.




[1] Mahasiswa semester 8 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persatuan Islam Garut prodi Tafsir Hadits (2011-2-015 M).
[2] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalisme Dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta, Gema Insani Press, Cetakan pertama, thn. 2008, hal. 21.
[3] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta, LKiS, cetakan pertama, thn. 2007, hal. 15. (Buku ini semula adalah sebuah penelitian disertasi yang diajukan kepada program pasca sarjana IAIN Sunan Kalijaga sebagai salah satu syarat meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu Agama Islam. Buku tersebut semula berjudul “Asal Usul Hadits: Telaah Atas Teori Common Link G.H.A Juynboll”, IAIN Yogyakarta, thn. 2004).
[4] Ibid. Uraian-uraian atau penjelasan mengenai biografi G.H.A Juynboll termasuk sulit didapat, sebabnya karena memang terhitung jarang—jika bukan tidak/belum ada—satu literatur khusus yang menguraikan biografi atau riwayat hidupnya. Ini sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Dr. Ali Masrur ketika menguraikan biografi Juynboll. Beliau menyampaikan tiga sebab sulitnya mencari data-data tentang kehidupan orientalis yang satu ini. Pertama, tidak/belum ada tulisan yang secara lengkap mengungkapkan riwayat kehidupannya. Kedua, Juynboll sendiri menjelaskan karir ilmiahnya secara singkat. Ketiga, Juynboll bukanlah dosen tetap di sebuah universitas tertentu. Ia hanya seorang privat schoolar. Akibatnya, ia tidak pernah menduduki jabatan struktural akademis. Kegiatannya hanya terbatas pada penelitian dan seminar. Kalaupun mengajar, itu dilakukan sesekali saja dalam bentuk studium general. Tak pelak, kesulitan ini pun ditemui oleh orang-orang yang hendak menguraikan biografi Juynboll—termasuk penulis. Uraian-uraian dalam beberapa tulisan yang penulis dapat pun semuanya merujuk kepada buku karya Dr. Ali Masrur di atas. Maka, uraian tentang biografi Juynboll dalam makalah ini pun sebenarnya sangat layak disebut resume atau ringkasan saja dari apa yang diuraikan buku tersebut.
[5] Ibid, hal. 16.
[6] Lihat G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1980-1960), Bandung, Mizan, cetakan pertama, thn. 1420 H/2004 1999 M (Terj. Oleh: Ilyas Hasan).
[7] Ibid.
[8] Pernyataan ini disampaikan melalui pesan e-mail sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan Dr. Ali Masrur berkenaan dengan riwayat kehidupannya. Lihat buku Teori Common Link G.H.A Juynboll, pada foot note (catatan kaki) no. 8.
[9] Maribel Fierro, Gautier Juynboll: Memories From a Spanish Colleague And Friend, hal. 1 (t.d)
[10] M. Anwar Syarifuddin, Kajian Orientalis Terhadap al-Quran dan Hadits, Jakarta, UIN Syarif Hidayatulloh, thn. 2011-2013, hal. 145. Untuk lebih lengkap lihat kembali Ali Masrur dalam “Teori Common Link Juynboll...
[11] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal. XXII.
[12] Ibid. Mengutip dari Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, Clarendon Press, thn, 1950, hal. 172
[13] Ibid, hal. 57-58.
[14] Ibid, hal. 60. Untuk lebih jelasnya, lihat M. M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet. 6, thn. 2014, hal. 557-562. Alih bahasa dari versi aslinya berjudul “Diraasat fii al-Ahadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih” atau “Studies In Early Hadith Literature” oleh Prof. H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
[15] Ibid, hal. 61
[16] Ibid, hal. 62
[17] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalisme Dan Diabolisme Pemikiran, hal. 32-33.
[18] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal. 63. Mengutip dari G.H.A. Juynboll, “Early Islamic Society”...,hal. 153 dan “Some Isnad-Analytical Methods...”, hal. 296.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hal.  69-73
[21] Ibid, hal. 75.
[22] Idri, Hadits Ahad Dan Mutawattir Menurut Ulama Hadis Dan Teori Common Link G.H.A Juynboll: Sebuah Studi Komparatif, hal. 10 (t.d).
[23] M. Anwar Syarifuddin, Kajian Orientalis Terhadap al-Quran dan Hadits, hal. 151-152.

[24] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal. 93-94.
[25] Ibid.
[26] Ibid, hal. 100
[27] Ibid, hal. 79-80.
[28] Ibid.  hal. 88-89.
[29] Ibid, hal. 90
[30] Ibid.
[31] Ibid, hal. 91.
[32] Ibid.
[33] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut, Dar Ihya Al-Turats Al-‘Araby, jld. 1, hal. 15 (Maktabah Syamilah). Lihat juga Ibn Rajab Al-Hanbaly, Syarah ‘Ilal Al-Tirmidzi, Ardan, Maktab Al-Manar, cetakan pertama, thn. 1407 H/1987 M, hal. 354.
[34] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal. 107.
[35] Ibid.
[36] Muhammad Mathar Al-Zahrani, Ilmu Al-Rijal; Nasyatuhu Wa Tathawwuruhu min Al-Qurun Al-Awwal ila Nihayah Al-Qarni Al-Tasi’, Madinah, Dar Al-Khudlairi, cet. 2, thn. 1998 M/1419 H, hal. 21.
[37] Ibid.
[38] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal. 14.
[39] Ibid, hal. 43.

0 komentar:

Posting Komentar