Sabtu, 02 Agustus 2014

Resume 3 Kitab Tafsir: Aliran Tafsir Bi Al-Ma’tsur, Tafsir Bi Al Ra’y, Dan Tafsir Menyimpang

Tafsir Al-Thabari



     A.   Biografi Penulis
Namanya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabari, ia berasal dari  Thabrastan, lahir pada tahun 224 H. Ia rihlah ke berbagai negri dalam mencari ilmu ketika usianya 12 tahun yaitu pada tahun 236 H, di antaranya ke Mesir, Syam, dan Iraq. Ia menetap di Baghdad hingga wafatnya pada tahun 310 H.[1]
            Ibn Jarir al-Thabari adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkatan Mujtahid Muthlaq. Dalam pandangan al Khatib al Baghdadi, beliau adalah salah satu Imam dari orang-orang yang berilmu, ia menghukumi dengan perkataannya dan merujuk kepada akalnya untuk mengenalnya dan keutamaannya, ia mengumpulkan ilmu-ilmu dan tidak ada yang menyamainya pada masanya, hafal kitabullah, Bashir terhadap al Quran, memahami makna dan hukum al Qur’an, ‘alim terhadap sunnah dan jalan periwayatannya, shahih dan lemahnya, nasikh mansukhnya, paham terhadap perkataan sahabat dan tabi’in dalam permasalahan hukum dan permasalahan halal dan haram, bijaksana terhadap pengalaman manusia dan khabar-khabar mereka.[2]
B.   Biografi Kitab
Kitab Jami’ al Bayan ‘An Ta’wil al Qur’an yang ditulis oleh bapak tafsir (Abu at Tafsir) ini, dinilai sebagai literatur penting baik dalam tafsir bil ma’tsur ataupun tafsir bil ra’yi karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari yang lebih kuat, disamping memuat istinbath dan wajah-wajah i’rab. Karena itu kitabnya merupakan kitab paling agung, paling shahih, dan paling lengkap karena memuat pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in. Banyak ulama menilai tafsir ini sebagai yang tiada duanya di bidang tafsir.[3]
Metodenya dalam kitab ini juga dianggap sebagai dasar bagi semua jenis tafsir karena adanya metode khas yang memadukan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi disertai dengan pemilihan pendapat yang terkuat. Imam as Suyuthi berkata, “Kitab Ibn Jarir kitab tafsir paling agung. Kitab itu memaparkan pemilihan berbagai pendapat, i’rab dan istinbath (pengambilan dalil dari al Quran dan hadis). Dengan karakterisik inilah kitab ini mengungguli kitab-kitab tafsir klasik.[4]
Begitu pula bagi Ibn Taimiyyah, ia berkata: “Adapun kitab-kitab tafsir yang berada di tangan masyarakat, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad bin Jarir al-Thabari. Kitab ini menuturkan pendapat kaum salaf dengan sanadnya, tidak memuat bid’ah dan tidak mengutip dari orang-orang yang tertuduh dusta.”[5]
C.   Metode Tafsir
Dalam menafsirkan al Qur’an, metode yang ditempuh Imam al-Thabari dalam kitabnya sebagaimana yang telah dirangkum oleh Dr. Yunus Hasan Abidu dalam karyanya yang berjudul “Tafsir al Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir” mencakup 12 langkah. Berikut poin-poinnya secara ringkas:[6]
1)       Mengawali penafsiran dengan mengatakan: “Pendapat tentang takwil firman Allah” begini.
2)       Menafsirkan ayat dengan menguatkan pendapatnya dengan sanadnya sendiri, baik dari sahabat maupun tabi’in.
3)       Menyimpulkan pendapat umum dari nash dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
4)       Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dari Rasulullah saw, sahabat dan tabi’in berikut dengan sanad-sanadnya mulai dari yang paling kuat dan paling shahih.
5)       Menguatkan pendapat yang dipilihnya dengan alasan-alasannya.
6)       Menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
7)       Melanjutkan dengan menjelaskan qira’at-qira’atnya, kemudian memilih qira’at yang kuat dan mengingatkan qira’at yang tidak benar.
8)       Menyertakan sya’ir-sya’ir untuk menjelaskan dan mengukuhkan makna nash.
9)       Menuturkan i’rab pendapat para ahli nahwu untuk menjelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan i’rab.
10)  Memaparkan pendapat-pendapat fikih ketika menjelaskan ayat hukum, mendiskusikan dan menguatkan yang menurutnya benar.
11)  Kadang-kadang menuturkan pendapat para ahli kalam dan menjuluki mereka dengan ahli jadaal (ahli teologis dialektis), mendiskusikannya, dan kemudian condong kepada pendapat ahlu sunnah wal jama’ah.
12)  Memberikan tempat yang tinggi kepada ijma’ umat ketika memilih suatu pendapat.
D.  Contoh Penafsiran
Tafsir QS. al-Kautsar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (3)

Dalam menafsirkan surah ini, al-Thabari memulai penafsirannya dengan kalimat “Al qaul fii takwili qaulihi” (pendapat tentang takwil firman-Nya), sebagaimana yang sering beliau lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat lainnya.[7] Lalu ia menyebutkan perbedaan-perbedaan endapat mengenai al-Kautsar, yaitu:
1)     Sungai di syurga yang diberikan Alloh swt kepada Nabi Muhammad saw.
2)     Kebaikan yang banyak.
3)     Kolam yang diberikan kepada Nabi saw di surga.
Dan yang benar menurut al-Thabary adalah pendapat yang mengatakan bahwa al-Kautsar adalah nama untuk sungai di Surga yang oleh Allah swt berikan kepada Nabi saw. Allah swt menyifatinya dengan “Katsroh” yang bermakna banyak,  karena keagungan/kebesaran/melimpahnya kandungan sungai tersebut.[8]
            Selanjutnya, al-Thabari menyebutkan riwayat-riwayat yang mengisahkan tentang al-Kautsar tersebut. Salah satunya sebuah hadits dari Anas bin Malik yang mengatakan bahwa, “Ketika Nabi saw di mi’rajkan, di dalam surga—atau seperti Anas berkata—Surga diperlihatkan kepada Nabi saw. kedua tepi sungainya adalah yaqut (sejenis batu mulia,--penj) yang melekuk, lalu Malaikat yang sedang bersama beliau memukul lekukan tersebut sehingga keluar lah minyak kasturi. Nabi Muhammad bertanya kepada Malaikat yang bersamanya tersebut, “Apa ini?” ia menjawab, “Ini adalah al-Kautsar yang Allah berikan kepadamu”... (HR. Abu Dawud).[9]
            Dalam riwayat lain yang diketengahkan al-Thabary disebutkan, kedua tepi sungai tersebut adalah kubah mutiara yang melekuk, tanahnya adalah minyak kasturi, yang lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, di dalamnya ada burung yang lehernya seperti leher unta.[10]
            Kemudian dilanjutkan dengan penafsiran فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ, menurut al-Thabari, ada yang berpendapat bahwa makna وَانْحَرْ adalah:[11]
1)  Dorongan agar teratur dalam shalat wajib serta menjaga waktu-waktunya. Alasannya adalah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa makna “وَانْحَرْ” adalah:
a)     Menyimpan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.
b)     Mengangkat tangan pada awal dibacakan takbir dalam iftitah.
c)      Shalat shubuh dan menyembelih sembelihan pada hari adha.
d)     Nabi saw menyembelih sebelum shalat, lalu beliau diperintah untuk shalat baru kemudian menyembelih.
2)  Satu kaum shalat dan menyembelih bukan karna Allah, maka dikatakan “Jadikanlah shalat dan sembelihanmu karena Allah, karena ketika itu orang kafir menjadikannya bukan karena Allah”.
3)  Ayat ini turun pada hari Hudaibiyyah ketika Nabi saw dan para sahabatnya dikepung. Maka Allah swt memerintahkan beliau untuk shalat, berkurban, lalu berpaling. Lalu beliau mengerjakannya.
Makna yang benar menurut al-Thabary adalah menjadikan shalat dan sembelihan ikhlas karena Allah sebagai rasa syukur terhadap kemuliaan dan kebaikan yang sepadan dan sebagai syukur kepada yang telah memberikan al-Kautsar hanya kepada beliau.[12]
            Terakhir, makna  إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُmenurut al-Thabary, sebagai berikut:[13]
1)  Musuh Nabi yang Allah swt maksudkan adalah al-‘Ash bin Wail al-Sahmi. Sedangkan “al Abtar” maknanya adalah kerendahan dan kehinaan.
2)  Musuh Nabi yang Allah swt maksudkan adalah Uqbah bin Mu’ith.
3)  Musuh Nabi yang Allah swt maksudkan adalah sekelompok orang-orang Quraisy.
Yang benar menurut al-Thabary, makna ayat tersebut adalah musuh Nabi yang paling rendah paling hina, yang terputus keturunannya. Sifat ini merupakan sifat orang-orang yang membenci beliau siapa pun orangnya, sekalipun ayat tersebut turun berkenaan orang tertentu.[14]



*****


Tafsir Al-Baidlawi


     A.   Biografi Penulis
Namanya adalah Nashiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin ‘Ali al-Syirozi al-Syafi’i al-Baidlawi. al-Baidlawi ini adalah nisbat kepada Baidla’; nama salah satu negri di Persia.tidak ada sumber yang menyebutkan tahun kelahirannya.[15]
Para ulama berkata mengenai keunggulan beliau. Al-Suyuthi berkata, “Beliau adalah Imam yang banyak ilmunya, menguasai fikih, ashlain, bahasa Arab, dan ilmu mantiq. Beliau adalah orang yang pandai, shaleh, ahli ibadah, dan seorang Syafi’iyyah.” Ibn Qadli Syuhbah dalam kitab Thabaqohnya, “Banyak karyanya, ‘alim Azerbaijan, dan Syaikh di daerah tersebut.” Al-Subki berkata, “Beliau adalah Imam cemerlang, pandai, baik, shaleh, dan ahli ibadah.”[16]
Menurut al-Subki dan al-Isnawi, beliau wafat pada tahun 691 H. Sedangkan menurut Ibn Katsir dan ulama lainnya, beliau wafat pada 685 H.[17]
B.   Biografi Kitab
Tafsir ini diberi nama oleh pengarangnya dengan Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Takwil, namun lebih dikenal dengan nama tafsir Baidlawi. Kitab tafsir ini menggabungkan antara tafsir dan takwil menurut kaidah-kaidah bahasa Arab, lalu memberi keputusan dengan dalil-dalil pokok ahlu sunnah.[18]
Kitab tafsir ini adalah ringkasan dari tafsir al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari, namun, dalam tafsir ini al-Baidhlawi telah menghilangkan ke’i’tizalannya (paham muktazilahny,--penj.), sekalipun dalam beberapa penafsiran, al-Baidlawi juga merujuk pendapat—atau sependapat—dengan al-Zamakhsyari dalam al Kasyaf.[19]
C.   Metode Tafsir
Langkah-langkah yang beliau lakukan dalam menyusun kitab sekaligus menafsirkan ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:[20]
1)  Meringkas Penafsiran dari kitab tafsir al-Kasyaf karya al-Zamaksyari dengan menghilangkan paham-paham mu’tazilahnya.
2)  Mengambil penafsiran dari tafsir al-Kabir (Mafaatih al-Ghaib) karya Fachru al-Razi dan tafsir al-Raghib al-Ashfahani.
3)  Kadang-kadang menganggap penting penyebutan qira’at-qira’at, akan tetapi ia tidak mensyaratkan mutawattir, sehingga ia menyebut qiraat yang syadz (janggal).
4)  Menyajikan pembahasan nahwu secara ringkas.
5)  Menyajikan beberapa pembahasan fikih dalam ayat-ayat hukum dengan tidak bertele-tele.
6)  Mengakui, menetapkan, atau mentarjih (menguatkan) pendapat ahlu sunnah.
7)  Sedikit sekali menyebut riwayat israiliyyat serta menyebut sumber riwayat dengan lafadz “Ruwiya” atau “Qiila” sebagai isyarat untuk memberitahukan kedla’ifannya.
8)  Ketika menafsirkan ayat-ayat kauniyyah, beliau sama sekali tidak menyimpang dari pembahasan tentang kaun dan al-thabi’ah (alam semesta).
D.  Contoh Penafsiran
Tafsir QS. al-Kautsar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (3)

            Menurut al-Baidlawi, ada yang membaca  dengan إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ dengan انا أنطيناك.[21]
            Makna al-Kautsar adalah kebaikan yang terlampau banyak berupa ilmu, amal, dan kemuliaan 2 rumah. Ia juga mengutip sebuah riwayat dengan lafaz “Ruwiya” (diriwayatkan; isyarat kedla’ifan), yang menyebutkan bahwa, “al-Kautsar adalah sungai di surga dan ‘adn-nya Tuhanku yang memiliki banyak kebaikan; lebih manis dari madu, lebih putih dari susu, lebih dingin dari salju, lebih halus dari buih. Dua tepi sungainya adalah batu permata, bejananya terbuat dari perak yang minumannya tidak akan membuat haus”. Kemudian ia juga mengutip pendapat dengan lafadz “Qiila” (dikatakan. isyarat kedla’ifan) bahwa al-Kautsar adalah telaga, anak, pengikut, ulama umat, atau al Quran.[22]
            Makna “فَصَلِّ لِرَبِّكَ” menurut al-Baidlawi adalah mendahulukan shalat dengan ikhlas karena Allah swt. yang sekaligus menyalahi atau menentang orang-orang munafik sebagai syukur nikmat-nikmat-Nya. Karena shalat itu mencakup atau menghimpun semua macam syukur. Sedang “وَانْحَرْ” adalah sembelihan/kurban; yaitu harta pilihan dan sedekah kepada orang-orang miskin; sebagai penentang terhadap orang yang menelantarkan mereka dan menghalangi hak zakat untuk mereka. Surat ini seperti surat yang sebelumnya (QS. al-Ma’un,--penj), ditafsirkan shalat di sini dengan shalat ‘ied dan “al-Nahru” dengan kurban.[23]
            “إِنَّ شَانِئَكَ” maknanya, sesungguhnya di antara adalah orang yang benci terhadap Nabi Muhammad saw pasti Allah pun benci kepada mereka. “هُوَ الْأَبْتَرُ” maknanya, dialah orang yang tidak punya penerus, karena tidak memiliki anak/keturunan dan tidak memiliki anak-laki yang baik. Sedangkan kamu (Muhammad), masih tersisa keturunanmu, reputasi baikmu, dan atsar/pengaruh keutamaanmu sampai hari kiamat. Untukmu (Muhammad) apa yang ia (al-abtar) tidak termasuk  kepada pensifatan tersebut.[24]
            Sebagai penutup tafsir QS. al-Kautsar ini, al-Baidlawi mengutip sebuah riwayat dari Nabi saw, “Barang siapa yang membaca (surah) al-Kautsar, niscaya Allah memberinya kesegaran dari semua sungai di surga serta mencatat untuknya sepuluh kebaikan dari setiap kurban/sembelihan hamba pada hari Nahr (adha)yang agung”.[25]
           


*****



Tafsir Al-Thabarsi


     A.   Biografi Penulis
Namanya adalah Abu ‘Ali al Fadhl bin Hasan bin al Fadhl ath Thabarsi al Masyhadi.[26] Dalam pandangan orang Syi’ah, nama inilah yang telah menulis kitab Majma’ al Bayan fii Tafsir al Qur’an. Ia berasal dari keluarga orang yang berilmu; anaknya Ridho ad Din Abu Nashr Hasan bin Fadhl yang berakhlak mulia, cucunya Abu Fadhl ‘Ali bin Hasan, dan seluruh silsilah keluarga dan kerabatnya menjadi pembesar-pembesar ulama. Banyak ulama meriwayatkan darinya[27], diantaranya seperti anakanya sendiri, Ibn Syahr Asywab, Syaikh Muntakhob ad Din, al Quthb al Rawandi, dan sebagainya. Sedangkan dia sendiri meriwayatkan dari Syaikh Abi ‘Ali bin asy Syaikh ath Thusi.[28]
Syaikh Muntakhob dalam al Fihris mengatakan bahwasannya ia ini tsiqoh. Beberapa di antara karyanya adalah Majma’ al Bayan fii Tafsir al Qur’an, al Wasith fii at Tafsir, al Wajiiz, I’lam al Waraa bi A’lam al Hudaa, Taaj al Mawaalid wa al Adaabi ad Diniyyati li al Khazanah al Mu;iibah, dan sebagainya.[29]  Ia memang memiliki banyak karya termasuk dalam bidang fikih dan kalam, karna keluasan ilmunya, sebagian ulama sampai mengatakan bahwa ia sudah mencapai tingkat Mujtahid. Ia wafat pada malam ‘idhul qurban tahun 538 H.[30]
B.   Biografi Kitab
Kitab tasfir ini bernama Majma’ al-Bayan Fii Tafsir al Qur’an. Kitab ini ia tulis ketika usianya menginjak 60 tahun. Mengenai metode yang ia gunakan dalam kitabnya, ringkasnya seperti yang ia uraikan sendiri. Ia berkata, “Saya memulai menulis sebuah kitab yang sangat ringkas, padat, sistematika yang baik, yang memuat jenis-jenis ilmu ini, memuat sumber-sumbernya, seperti ilmu qira’at, i’rab, bahasa, makna-makna peliknya, problematikanya, makna-maknanya, segi-seginya, turunnya, sejarahnya, kisah-kisahnya, kebaruan-kebaruannya, hukum-hukumnya, mengkaji tuduhan-tuduhan negatif dan saya akan menuturkan pendapat-pendapat yang khas dari rekan-rekan saya dalam menggali hukum di berbagai tempat sesuai dengan apa yag mereka yakini, baik ushul, furu’, ma’qul maupun masmu’nya.[31] Dalam cetakan Dar al ‘Ulum Beirut kitab ini diterbitkan tidak kurang dari 10 jilid.
C.   Metode Tafsir
Metode yang ditempuh oleh ath Thabarsi mencakup 7 langkah, berikut poin-poinnya secara ringkas:[32]
1)  Memulai penafsiran dengan menyebutkan turunnya dan ayat-ayatnya, kemudian qira’ah-qira’ahnya, bahasa, i’rab dan munasabah antar ayat.
2)  Menyebutkan asbab an nuzul, makna-makna, dan takwil-takwilnya.
3)  Menyebutkan kisah-kisah mutasyabih dan musykil-musykilnya.
4)  Dalam muqaddimah tafsirnya, ia juga memulai tafsirnya dengan memberi pengantar dengan sebagian ilmu al Quran. hal yang dipaparkan mencakup 7 hal yakni; jumlah ayat al Quran, para Qari’ yang masyhur, makna tafsir, takwil dan hukum tafsir bil ra’yi, nama-nama al Qur’an, kemukjizatan al Qur’an, penambahan dan pengurangannya, khabar-khabar berkenaan dengan keutamaan al Quran dan ahlinya, anjuran memperbaiki pengucapan dan memperindah membacanya. Kemudian memulai tafsirnya dengan membicarakan isti’adzah dan basmalah.
5)  Memaksimalkan semua segi yang dibicarakannya.
6)  Menyebutkan hadis-hadis, namun tidak terlepas dari hadis-hadis maudhu’, khusunya dalam rangka membela madzhabnya dan akidahnya,  di samping kesalahannya dalam meriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaan surat-surat yang diriwayatkan oleh selainnya dari Ubai dan yang lain, yang menurut kesepakatan ulama merupakan hadis-hadis maudhu’.
7)  Meriwayatkan banyak isra’iliyyat yang dinisbatkan kepada pengucapnya tanpa memberi komentar. Kecuali yang berkenaan dengan akidah, maka ia mengkritik habis-habisan dan menunjukkan kedustaannya.
D.  Contoh Penafsiran
Tafsir QS. al-Kautsar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (3)

Ketika hendak menafsirkan  surah al-Kautsar,  al-Thabarsi memberikan semacam pengantar sebelum menginjak lebih jauh pada penafsiran ayat. Pengantar tafsir surah al Kautsar ini, diberi judul oleh al-Thabarsi dengan judul “ واياتها(3)/مكية”. Isi pengantar ini, antara lain:[33]
a.    Pertama, menyatakan bahwa surah ini termasuk surah makiyyah. Al-Thabarsi menyebutkannya dari Ibn ‘Abbas dan al kalabi. Ada juga yang mengatakan surah ini adalah Madaniyyah, ia menyandarkannya kepada ‘Ikrimah dan adh Dhahak.
b.    Kedua, menjelaskan keutamaan surah ini. Ia menyandarkannya kepada hadis yang ia terima dari ayahnya bahwa orang yang membacanya maka Allah akan memberinya minum dari sungai syurga, dan memberinya pahala dengan bilangan setiap kurban yang seorang hamba berkurban dengannya pada hari ‘id dari ahli kitab dan orang musyrik. Hadisnya sebagai berikut:
Abu Basyir dari Abi ‘Abdillah ‘Alaihissalam dia berkata: “Barang siapa yang membaca (!štrOöqs3ø9$#»oYøsÜôãr&$¯RÎ)) dalam—ibadah—yang fardhu dan yang sunnahnya (nawaafil), Allah akan memberinya minum pada hari kiamat dari al Kautsar. Dan orang yang menceritakannya berada di sisi Muhammad shallallhu ‘alaihi wa sallam.
c.     Ketiga, menjelaskan tafsirnya secara global. Yakni surah ini adalah celaan Allah Swt terhadap orang yang meninggalkan shalat dan menahan zakat. Serta surah ini juga menyebutkan bahwa kalaulah mereka mengerjakannya, dan mereka pun mendustakannya. Maka sesungguhnya Allah Swt telah memberinya kebaikan yang banyak serta memerintahkan Shalat kepadanya. Maka Ia berfirman:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
            Kemudia ath Thabarsi terlebih dahulu menafsirkan ayat ini secara bahasa saja, yakni pada lafadz “al Kautsar”; Ia menafsirkan bahwa secara bahasa “al-Kautsar” adalah wazan “Fau’ala” dari Katsroh, dan “al Katsroh” bermakna sesuatu yang banyak. Dan “al Kautsar” maknanya adalah “al Khairul katsir” (kebaikan yang banyak).  Kemudian pada lafadz “A’thainaaka” dengan makna pemberian dari dua segi; yakni tamlik (kepemilikan) dan ghair tamlik (bukan kepemilikan), maka  makna Allah Swt memberikan al Kautsar kepada Nabi adalah memberikan kepemilikannya seperti kepemilikan pahala, karna asal dari kalimat “a’tha”adalah “tanaawala” memberi dan menerima.[34]
Lalu ath Thabarsi menerangkan I’rab dari ayat ini, yakni pada kalimat  ptùU$#ur  ada maf’ul (objek) yang di buang. Artinya kurbankanlah sembelihanmu. Selain itu, ia juga menyinggung bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang yang bernama al ‘Ash bin Wail.[35] Menurut at Thabarsi ayat ini adalah perintah untuk bersyukur atas nikmat yang besar.  Kemudian ia juga menyebutkan perbedaan para ulama dalam menafsirkan ayat ini, namun, ia tidak memilih atau menguatkan salah satu dari pendapat tersebut.[36]
al-Thabarsi menjelaskan beberapa poin dari surah ini yang menegaskan kebenaran kenabian Nabi Muhammad Saw, yaitu sebagai berikut:[37]
a.    Allah Swt mengabarkan kepada Nabi Muhammad tentang apa yang ada dalam hati musuh-musuhnya, ia mengetahuinya sekalipun musuh-musuhnya itu tidak menyampaikannya.
b.    Tafsir dari  trOöqs3ø9$#»oYøsÜôãr&$¯RÎ), “lihatlah bagaimana ia menyebarkan agama-Nya, dan meninggikan perintahnya, sehingga Allah Swt menjadikan banyak keturunannya, sampai nasabnya lebih banya dari setiap nasab, tidak ada yang menyamainya dalam hal tesebut.
c.     Semua ahli bahasa Arab lemah untuk mendatangkan surat semacam ini.
d.    Allah Swt menjanjikan pertolongan dari musuh-musuh kepada Nabi Muhammad Saw, memutuskan perkara dan agama mereka. Ia dikabari dengan apa yang Allah kabarkan kepadanya. Dalam surah ini terdapat mukjizat berupa keserupaan dan kemudahan makhraj-makhraj huruf dengan susunan yang baik.



*****




[1]Dr. Muhammad Husein adz Dzahabi, at Tafsir wa al Mufassirun, cet. 3, thn. 1976 H/1396 M, jilid. 1, hal. 205.
[2] Ibid.
[3] Dr. Yunus Hasan Abidu, Tafsir al Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, Tangerang, Gaya Media Pratama, Cetakan pertama, thn. 1428 H/2007 M, hal. 69. (diterjemahkan dari kitab “Diraasat Wa Mabahits fi Tarikh at Tafsir wa Manahij al Mufassirin” oleh Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq)
[4] Ibid. hal. 70. Mengutip dari al Itqan, III/190.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal. 70-71.
[7] Ibn Jarir ath Thabari, Tafsir ath Thabari: al Musamma Jaami’ al Bayan Fii Takwil al Qur’an, Beirut, Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, cet. 4, thn. 1426 H/2005 M, jilid 14, hal. 679.
[8] Ibid, hal. 679-685.
[9] Ibid, 685.
[10] Ibid, hal. 686-690.
[11] Ibid, hal. 690-696
[12] Ibid, hal. 696.
[13] Ibid. hal. 697-700.
[14] Ibid. 700-701
[15] Muhammad bin Adurrahman al-Mar’asyali, Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Takwil (Dalam Muqaddimah), Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arobi, jld. 1, hal. 9.
[16] Ibid.
[17] Ibid, hal. 11
[18] Ibid, hal. 12
[19] Ibid.
[20] Ibid, hal. 12-14.
[21] Al-Baidlawi, Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Takwil, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arobi, jld. 5, hal. 342.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ath Thabarsi adalah nisbat kepada suatu nama tempat yakni Thabrastan, sedang al Masyhadi nisbat kepada tempat ia dimakamkan; yakni al Masyhad al Radwa (at Tafsir wa al Mufassirun)
[27] Dr. Muhammad Husein adz Dzahabi, at Tafsir wa al Mufassirun, cet. 3, thn. 1976 H/1396 M, jilid. 2, hal. 99.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Dr. Yunus Hasan Abidu, Tafsir al Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, hal.184.
[32] Ibid, hal. 184-187. Sebenarnya Dr. Yunus Hasan Abidu dalam bukunya menguraikan 9 langkah yang jadi metode ath Thabarsi dalam kitab tafsirnya, namun penulis sengaja tidak menyertakan poin ke sembilan karena menurut penulis, poin tersebut bukan salah satu metode penafsiran ath Thabarsi, tapi merupakan pandangan yang  lebih kepada pendapat penulisnya tentang sosok pribadi ath Thabarsi. Poin tersebut adalah sebagai berikut:
“Setelah menguraikan karakteristik kitab ini dan metode yang digunakan penulisnya, maka kita harus jujur mengakui bahwa Imam ath Thabarsi rahimahullah adalah orang yang moderat kesyi’ahannya, tidak bersikap fanatik buta dan  tidak bersikap ekstrim seperti Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah lainnya. Ia tidak mengafirkan salah seorang sahabat atau mencela keberagamaan dan keadilannya, di samping tidak berlebihan dalam mencintai Imam ‘Ali, tidak menaikannya ke tingkat kenabian atau yang lebih tinggi, sebagaimana yang dilakukan yang lain. Ia hanya membela madzhabnya tanpa berlebihan. Ia juga mengutip pendapat mufassir-mufassir madzhab lainnya dengan sikap toleran dan moderat.” (Lihat Dr. Yunus Hasan Abidu, Tafsir al Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, hal.187.)
[33] Al-Thabarsi, Majma’ al Bayan Fii Tafsir al Qur’an, Beirut, Dar al ‘Ulum, cetakan pertama, thn. 1426 H/2005 M, jilid 10, hal. 352.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid, hal. 353.
[37] Ibid, hal. 354.

0 komentar:

Posting Komentar