Minggu, 12 Oktober 2014

KONSEP TUHAN

Pendahuluan: Kepercayaan Terhadap Tuhan
                Karen Amstrong dalam bukunya yang bertajuk “SEJARAH TUHAN: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4.000 Tahun” mengutip teori Wilhelm Schmidt pada tahun 1912 M yang menyatakan bahwa sejak dahulu telah ada suatu monotesme primitif sebelum manusia mulai menyembah dewa.[1] Menurut teori ini, manusia pada awalnya mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi yang telah menciptakan dunia dan menata urusain manusia dari kejauhan. Namun ternyata, Dia dirasa tidak pernah hadir secara langsung dalam keseharian manusia, ada yang mengatakan bahwa Dia tidak bisa diekspresikan dan tidak dapat dicemari oleh dunia manusia, ada juga yang mengatakan bahwa Dia telah pergi. Maka mulailah terjadi penyimpangan, Tuhan tersebut digantikan oleh ruh-ruh yang lebih rendah dan tuhan yang lebih mudah dijangkau, hingga lebih jauh lagi digantikan oleh tuhan-tuhan pagan yang lebih menarik.[2]
                Dari teori Schmidt di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan manusia terhadap keberadaan Tuhan telah ada sejak dahulu manusia ada, hadir dan menjelma sebagai keyakinan yang tidak diragukan. Singkatnya, ini berarti kepercayaan terhadap Tuhan adalah fitrah; sesuatu yang natural dan alami.
Terhadap kenyataan seperti ini, ada pernyataan menarik dari Prof. Nurcholis Madjid sebagaimana dikutip oleh Dr. Nashruddin Syarif dalam bukunya “Menangkal Virus Islam Liberal”, bahwa percaya kepada suatu “tuhan” adalah hal yang dapat dikatakan taken for granted pada manusia, sepenuhnya manusiawi, sehingga sebenarnya usaha mendorong manusia untuk percaya kepada Tuhan adalah tindakan berlebihan. Tidak didorong pun manusia telah percaya kepada Tuhan.[3]
Demikian pula dalam pandangan Islam, kepercayaan terhadap Tuhan adalah fitrah, pasti ada dalam diri manusia sepanjang manusia tersebut tetap dalam fitrahnya. Pernyataan ini ditegaskan dalam al-Quran dari jauh-jauh hari bahkan berabad-abad sebelum munculnya pernyataan Schmidt di atas. Meskipun tentu berbeda Tuhan yang dimaksud oleh Islam dan tuhan-tuhan yang dipahami oleh selainnya. Ini akan kita bincangkan pada pembahasan selanjutnya.

Konsep Tuhan Dalam Agama-agama Dan Kepercayaan Di Dunia
                Perlu dipahami bahwa pembicaraan Tuhan dan agama tak dapat dipisahkan, ketika berbicara tentang agama maka tidak bisa tidak kita akan berbicara tentang Tuhan, demikian juga sebaliknya ketika berbicara tentang Tuhan maka mestilah kita juga berbicara tentang agama, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, termasuk ketika kita membicarakan tentang golongan yang katanya tidak percaya kepada Tuhan (ateisme), ketidak percayaan mereka terhadap Tuhan ini justru juga menjadi agama atau kepercayaan baru yang mendorong mereka untuk percaya kepada tuhan yang lebih rendah, baik dalam bentuk materi atau pun pemimpin-pemimpin tirani yang otoriter. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Adian Husaini, konsep Tuhan merupakan konsep pokok atau yang paling mendasar dalam setiap agama. Dari konsep Tuhan inilah kemudian dijabarkan konsep-konsep lain seperti konsep tentang manusia, kenabian, wahyu, alam, dan sebagainya[4]. Jadi, mau tidak mau antara Tuhan dan agama, mestilah keduanya kita bicarakan.
                Setiap agama dan kepercayaan punya konsep yang berbeda tentang tuhan, berikut beberapa di antaranya. [5]
                Pertama, Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani. Sebagai contoh, menurut Aristotle, Tuhan adalah “Unmoved Mover”; penggerak yang tidak bergerak. Tuhan Aristotle adalah Tuhan filsafat, Tuhan yang ada dalam pikiran, karena ia harus ada secara logika sebagai penggerak alam semesta yang senantiasa berada dalam keadaan bergerak dan berubah. Karena itu tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Aristotle menyembah Tuhan yang dikonsepsikannya. Tuhan Aristotle hanya tahu dirinya sendiri, dan tidak paham apa yang ada di luarnya.
                Kedua, Tuhan Dalam Agama Budhisme dan Hinduisme. Nama Tuhan dalam Budhisme tidak jelas, Budha tidak menyebut nama Tuhannya dengan sebutan tertentu. Umat Budha meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal dengan sebutan “Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkatam”, yang artinya: Sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan dalam agama Budha adalah Anatam (Tanpa Aku), sesuatu yang tidak berpribadi, sesuatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Demikian Hinduisme, Hindu Bali menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai “Ida Sang Hyang Widhi Wasa” atau “Brahman”. Di antara sekian banyak gelar Sang Hyang Widhi, ada 3 yang paling terkenal yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa yang sohor dengan sebutan Trimurti.
                Ketiga, Tuhan dalam agama Yahudi-Kristen. Dalam tradisi Yahudi-Kristen, nama Tuhan masih diperdebatkan. Kaum Yahudi hingga kini, masih belum menemukan dan hanya berspekulasi tentang nama Tuhan mereka. Tetagram; kata nama yang paling penting dalam Perjanjian Lama tertulis dengan 4 huruf tanpa huruf vokal, yaitu YHWH, yang ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam PL. Seperti yang disebutkan oleh Dr. D. L. Baker, “... nama tersebut mungkin dulu diucapkan “Yahweh”...” artinya, ini hanya sebuah spekulasi saja bukan?. Pada giliran selanjutnya, spekulasi ini berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang beragam sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Mengikuti cara kebiasaan Yahudi, tetagram (YHWH) diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai “Kyrios” (Tuhan), diikuti juga oleh Yesus dan para rasul-Nya yang biasanya melafalkan Yahwe dengan Adonai (TUHAN) atau ha shem (Nama segala nama). Di Timur Tengah, kaum Kristen menyebut “Alloh”, sama dengan di Indonesia yang melafazkan nama Tuhannya menjadi “Allah”; di Barat dengan “God” atau “Lord”.
                Keempat, konsep Tuhan dalam pluralisme agama. Sebagai contoh, apa yang diucapkan oleh Nurcholis Madjid bahwa ibarat roda, setiap agama adalah ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama; pusat roda adalah Tuhan, dan jari-jari adalah jalan dari berbagai agama. Konsep ini adalah keliru.

Bagaimana dikatakan sama Tuhan dalam setiap agama tersebut, sedang nama Tuhannya saja tidak jelas, hanya Islam yang jelas?. Apakah mau kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain menyebut Tuhannya dengan sebutan “Allah” atau sebaliknya?. Jadi, tentu tidak sama.
Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan “Allah” sama dengan orang Islam, namun perlu dicatat, ketiganya punya konsep yang berbeda. Bagi kaum Musyrik, Alloh adalah nama salah satu Tuhan mereka di samping Tuhan Latta, Uzza, Hubbal, dsb. Karena itu mereka telah melakukan syirik. Demikian kaum Kristen yang mengangkat nabi Isa  sebagai Tuhan. Jadi, kendati sama menyebut Alloh, namun yang dimaksud berbeda. Karena itu lah  Nabi Muhammad saw menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian (QS. al-Kafirun).

ISLAM: Konsep Tuhan Yang Sebenarnya; Tuhan=Fitrah=Tauhid
Dalam pembahasan sebelumnya telah kita singgung bahwa kepercayaan terhadap Tuhan adalah fitrah; satu hal yang natural, termasuk dalam ajaran Islam, sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat-ayat al Quran berikut ini:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar Rum: 30)

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. al A’rof: 172)
Kedua ayat di atas sangat jelas menegaskan bahwa percaya kepada Tuhan adalah fitrah, sudah ada bahkan sejak manusia hendak diciptakan. Namun yang menarik adalah hakikat dari fitrah itu sendiri, menurut Dr. Nashruddin Syarif, fitrah yang dimaksudkan di sini adalah tauhid; yakni penegasan bahwa manusia secara alami percaya kepada satu Tuhan, dan Tuhan tersebut adalah Alloh swt. Ini tentu berbeda dengan teori keagamaan lainnya, di mana al Quran tidak membenarkan kepercayaan kepada Tuhan sebagai sesuatu yang manusiawi dan kepercayaan kepada sembarang Tuhan. Artinya, dalam agama Islam orang yang percaya kepada Tuhan selain Alloh dikategorikan melenceng dari fitrah. [6] Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw berikut ini.

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ...
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tua nya lah yang menjadikannya Yahudi, Nashroni atau Majusi... (Muttafaq alaih)
               
Selanjutnya, konsep Islam tentang Tuhan sangat unik dan khas, karena al-Quran sebagai kitab suci umat Islam menyebut secara jelas nama Tuhan yaitu الله. Kata الله tidak boleh diucapkan sembarangan, harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw yakni “Allah”. Jadi, umat Islam seluruh dunia dari dulu hingga kini dan sampai hari kiamat tidak berbeda pndapat dan sepakat bahwa nama Tuhan mereka adalah “Allah”. Dengan demikian nama “Allah” ini bersifat final dan otentik, karena umat Islam menyebutnya dengan lafal yang sesuai dengan apa yang ada dalam al-Quran dan langsung diajarkan oleh Rasulullah saw dan bukan dengan melakukan ‘spekulasi filosofis’ seperti yang terjadi atau dilakukan dalam agama lain.[7]
Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, tegasnya Tuhan—Alloh—sendiri yang memperkenalkan dirinya sehingga tidak memberi kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal.[8]
                Di dalam al Quran, Alloh Swt berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ...
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah... (QS. Muhammad: 19)
                Makna kalimat “Ilah” dalam ayat di atas, menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah adalah Yang disembah serta ditaati, ilah adalah ma’luh (tempat berlindung), dan ma’luh adalah yang berhak untuk disembah.[9] Sedang menurut al Zamakhsyari, Ilah adalah ismul jinsi (nama jenis); seperti kalimat kaki atau kuda, yaitu setiap yang disembah baik itu yang hak atau pun batil, kemudian dikalahkan atau disingkirkan oleh sembahan yang hak.[10] Jadi makna dari kalimat “Laa ilaaha illa-Alloh” adalah tiada sembahan yang disembah dengan hak kecuali Alloh. Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh menegaskannya dengan kalimat “Laa Ma’buda bi haqqin illa-Alloh”, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Alloh.[11]
                Dari konsep ini, Islam tidak membenarkan konsep-konsep ketuhanan lain yang mengakui tuhan lebih dari satu, juga tidak membenarkan konsep ketuhanan yang mengatakan Alloh mempunyai istri dan anak, Tuhan orang Islam jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (QS. al-Ikhlas: 1-4). Malah dengan tegas orang yang menyebut bahwa Alloh mempunyai anak seperti Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair anak Alloh dan Kristen yang mengatakan bahwa Nabi Isa adalah Alloh sebagai KAFIR.[12] Konsep ketuhanan dalam Islam memang tidak mentolelir kemusyrikan (menyekutukan Tuhan—Alloh--dengan selain-Nya)
                Dalam khazanah Islam, ada pembahasan mengenai konsep Tuhan yang disebut dengan ilmu kalam. Dalam ilmu ini Tuhan dikonsepsikan sebagai yang secara Zat tidak bisa dikenal karena ia berbeda dengan apapun. Maka tentang hal ini tidak ada kata apapun yang mampu mendeskripsikan-Nya karena apapun yang kita deskripsikan pasti tak kan sama dengan-Nya. Pada level ini Tuhan tidak bisa dikatakan memiliki sifat apapun, tidak ada sifat apapun yang bisa dinyatakan positif, bahkan tidak pula sifat wujud. Oleh sebab itu, maka sifat-sifat ALloh kemudian ditolak. Kelompok yang berpendapat seperti ini antara lain Jahmiyah, Mu’athilah, Mu’tazilah, dan sebagian besar filosof seperti Ibn Sina.[13]
                Seorang ulama bernama Ibn Arobi memilih untuk menggabungkan pendapat para ahli kalam dan para ulama ahli tauhid--yang dapat diwakili oleh Ibn Taimiyyah atau al Ghazali--, dengan memahami konsep Tuhan di atas seperti berikut. Menurut Ibn Arobi, pendapat para ahli kalam benar jika Tuhan ditinjau dari segi Zatnya saja. Tapi menurutnya Tuhan juga memiliki aspek lain yaitu sifat, sehingga sifat-sifat Alloh seperti hidup, melihat, dan sebagainya adalah benar. Jadi, baik pandangan para ahli kalam atau pun para ulama lain semisal al Ghazali adalah sama benarnya.[14]
                Pandangan Ibn ‘Arobi ini tak lepas dari kritikan. Menurut Ibn Taimiyyah, Konsep Tuhan yang diajarkan oleh al Quran, Hadits, dan kemudian diamalkan oleh para sahabat dan tabi’in itu juga mengajarkan konsep Tuhan dalam asma wa shifat (nama dan sifat). Artinya, nama dan sifat Alloh Swt tidak dapat dipisahkan, nama apa saja yang Alloh sebutkan; termasuk Alloh sebagai zat, dan sifat apa yang Alloh sebutkan mutlak harus diimani.[15] Jadi, menurut pandangan ini, pendapat Ibn ‘Arobi adalaah keliru.



[1] Karen Amstrong, SEJARAH TUHAN: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4.000 Tahun, Bandung, Penerbit Mizan, cet. 6, thn. 2002, hal. 27 (alih bahasa: Zaimul Am).
[2] Ibid, hal. 28
[3][3] Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal: Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Dakwah, Bandung, Persis Press, cet. 3, thn. 2013, hal. 82.
[4] Dr. Adian Husaini, Islam Agama Wahyu: Bukan Agama Budaya Dan Sejarah, Jakarta, INSIST, cetakan pertama, thn. 2011 M, hal. 11.
[5] Poin pertama sampai keempat disarikan dari buku Dr. Adian Husaini, Islam Agama Wahyu: Bukan Agama Budaya Dan Sejarah, hal. 12-47.
[6] Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal: Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Dakwah, hal. 88
[7]Dr. Adian Husaini, Islam Agama Wahyu: Bukan Agama Budaya Dan Sejarah, hal. 18
[8] Ibid.
[9] Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fath al Majid: Syarah Kitab al Tauhid, Kairo, Dar al Ghad al Jadid, cetakan pertama, thn. 2007 M/1426 H, hal. 48-49.
[10] Ibid, hal. 48.
[11] Ibid, hal. 47.
[12]QS. al Maidah: 17.
[13] Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal: Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Dakwah, hal. 100
[14] Ibid, hal. 101
[15] Ibid. Mengutip dari Muhammad bin Shalih al Utsaimin, al Qaul al Mufid Wa Fath al Majid fi Syarh Kitab al Tauhid, (editor: ‘Adil ibn Sa’ad), Kairo, Dar Ibn al Haitsam, 2003, hal. 17-20.

0 komentar:

Posting Komentar