Pendahuluan: Kepercayaan
Terhadap Tuhan
Karen
Amstrong dalam bukunya yang bertajuk “SEJARAH TUHAN: Kisah Pencarian Tuhan Yang
Dilakukan Oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4.000 Tahun” mengutip
teori Wilhelm Schmidt pada tahun 1912 M yang menyatakan bahwa sejak dahulu
telah ada suatu monotesme primitif sebelum manusia mulai menyembah dewa.[1]
Menurut teori ini, manusia pada awalnya mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi
yang telah menciptakan dunia dan menata urusain manusia dari kejauhan. Namun
ternyata, Dia dirasa tidak pernah hadir secara langsung dalam keseharian
manusia, ada yang mengatakan bahwa Dia tidak bisa diekspresikan dan tidak dapat
dicemari oleh dunia manusia, ada juga yang mengatakan bahwa Dia telah pergi. Maka
mulailah terjadi penyimpangan, Tuhan tersebut digantikan oleh ruh-ruh yang
lebih rendah dan tuhan yang lebih mudah dijangkau, hingga lebih jauh lagi
digantikan oleh tuhan-tuhan pagan yang lebih menarik.[2]
Dari
teori Schmidt di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan manusia
terhadap keberadaan Tuhan telah ada sejak dahulu manusia ada, hadir dan
menjelma sebagai keyakinan yang tidak diragukan. Singkatnya, ini berarti
kepercayaan terhadap Tuhan adalah fitrah; sesuatu yang natural dan alami.
Terhadap
kenyataan seperti ini, ada pernyataan menarik dari Prof. Nurcholis Madjid sebagaimana
dikutip oleh Dr. Nashruddin Syarif dalam bukunya “Menangkal Virus Islam
Liberal”, bahwa percaya kepada suatu “tuhan” adalah hal yang dapat dikatakan taken
for granted pada manusia, sepenuhnya manusiawi, sehingga sebenarnya usaha
mendorong manusia untuk percaya kepada Tuhan adalah tindakan berlebihan. Tidak
didorong pun manusia telah percaya kepada Tuhan.[3]
Demikian pula
dalam pandangan Islam, kepercayaan terhadap Tuhan adalah fitrah, pasti ada
dalam diri manusia sepanjang manusia tersebut tetap dalam fitrahnya. Pernyataan
ini ditegaskan dalam al-Quran dari jauh-jauh hari bahkan berabad-abad sebelum
munculnya pernyataan Schmidt di atas. Meskipun tentu berbeda Tuhan yang
dimaksud oleh Islam dan tuhan-tuhan yang dipahami oleh selainnya. Ini akan kita
bincangkan pada pembahasan selanjutnya.
Konsep Tuhan Dalam Agama-agama
Dan Kepercayaan Di Dunia
Perlu
dipahami bahwa pembicaraan Tuhan dan agama tak dapat dipisahkan, ketika
berbicara tentang agama maka tidak bisa tidak kita akan berbicara tentang
Tuhan, demikian juga sebaliknya ketika berbicara tentang Tuhan maka mestilah
kita juga berbicara tentang agama, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak
dapat dipisahkan, termasuk ketika kita membicarakan tentang golongan yang
katanya tidak percaya kepada Tuhan (ateisme), ketidak percayaan mereka terhadap
Tuhan ini justru juga menjadi agama atau kepercayaan baru yang mendorong mereka
untuk percaya kepada tuhan yang lebih rendah, baik dalam bentuk materi atau pun
pemimpin-pemimpin tirani yang otoriter. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Adian
Husaini, konsep Tuhan merupakan konsep pokok atau yang paling mendasar dalam
setiap agama. Dari konsep Tuhan inilah kemudian dijabarkan konsep-konsep lain
seperti konsep tentang manusia, kenabian, wahyu, alam, dan sebagainya[4].
Jadi, mau tidak mau antara Tuhan dan agama, mestilah keduanya kita bicarakan.
Setiap
agama dan kepercayaan punya konsep yang berbeda tentang tuhan, berikut beberapa
di antaranya. [5]
Pertama,
Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani. Sebagai contoh, menurut Aristotle, Tuhan
adalah “Unmoved Mover”; penggerak yang tidak bergerak. Tuhan Aristotle adalah
Tuhan filsafat, Tuhan yang ada dalam pikiran, karena ia harus ada secara logika
sebagai penggerak alam semesta yang senantiasa berada dalam keadaan bergerak
dan berubah. Karena itu tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Aristotle
menyembah Tuhan yang dikonsepsikannya. Tuhan Aristotle hanya tahu dirinya
sendiri, dan tidak paham apa yang ada di luarnya.
Kedua,
Tuhan Dalam Agama Budhisme dan Hinduisme. Nama Tuhan dalam Budhisme tidak
jelas, Budha tidak menyebut nama Tuhannya dengan sebutan tertentu. Umat Budha
meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal dengan sebutan “Atthi Ajatam
Abhutam Akatam Asamkatam”, yang artinya: Sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak
dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan dalam agama Budha adalah
Anatam (Tanpa Aku), sesuatu yang tidak berpribadi, sesuatu yang tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apa pun. Demikian Hinduisme, Hindu Bali menyebut Tuhan
Yang Maha Esa sebagai “Ida Sang Hyang Widhi Wasa” atau “Brahman”. Di antara
sekian banyak gelar Sang Hyang Widhi, ada 3 yang paling terkenal yaitu Brahma,
Wisnu, dan Siwa yang sohor dengan sebutan Trimurti.
Ketiga,
Tuhan dalam agama Yahudi-Kristen. Dalam tradisi Yahudi-Kristen, nama Tuhan
masih diperdebatkan. Kaum Yahudi hingga kini, masih belum menemukan dan hanya
berspekulasi tentang nama Tuhan mereka. Tetagram; kata nama yang paling penting
dalam Perjanjian Lama tertulis dengan 4 huruf tanpa huruf vokal, yaitu YHWH,
yang ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam PL. Seperti yang disebutkan oleh
Dr. D. L. Baker, “... nama tersebut mungkin dulu diucapkan “Yahweh”...”
artinya, ini hanya sebuah spekulasi saja bukan?. Pada giliran selanjutnya,
spekulasi ini berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang beragam
sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Mengikuti cara kebiasaan Yahudi,
tetagram (YHWH) diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai “Kyrios” (Tuhan),
diikuti juga oleh Yesus dan para rasul-Nya yang biasanya melafalkan Yahwe
dengan Adonai (TUHAN) atau ha shem (Nama segala nama). Di Timur Tengah,
kaum Kristen menyebut “Alloh”, sama dengan di Indonesia yang melafazkan nama
Tuhannya menjadi “Allah”; di Barat dengan “God” atau “Lord”.
Keempat,
konsep Tuhan dalam pluralisme agama. Sebagai contoh, apa yang diucapkan oleh
Nurcholis Madjid bahwa ibarat roda, setiap agama adalah ekspresi keimanan
terhadap Tuhan yang sama; pusat roda adalah Tuhan, dan jari-jari adalah jalan
dari berbagai agama. Konsep ini adalah keliru.
Bagaimana
dikatakan sama Tuhan dalam setiap agama tersebut, sedang nama Tuhannya saja
tidak jelas, hanya Islam yang jelas?. Apakah mau kaum Hindu, Budha, dan pemeluk
agama-agama lain menyebut Tuhannya dengan sebutan “Allah” atau sebaliknya?.
Jadi, tentu tidak sama.
Kaum musyrik
dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan “Allah” sama dengan
orang Islam, namun perlu dicatat, ketiganya punya konsep yang berbeda. Bagi
kaum Musyrik, Alloh adalah nama salah satu Tuhan mereka di samping Tuhan Latta,
Uzza, Hubbal, dsb. Karena itu mereka telah melakukan syirik. Demikian kaum
Kristen yang mengangkat nabi Isa sebagai
Tuhan. Jadi, kendati sama menyebut Alloh, namun yang dimaksud berbeda. Karena
itu lah Nabi Muhammad saw menolak ajakan
kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing
secara bergantian (QS. al-Kafirun).
ISLAM: Konsep Tuhan Yang
Sebenarnya; Tuhan=Fitrah=Tauhid
Dalam
pembahasan sebelumnya telah kita singgung bahwa kepercayaan terhadap Tuhan
adalah fitrah; satu hal yang natural, termasuk dalam ajaran Islam, sebagaimana
yang ditegaskan dalam ayat-ayat al Quran berikut ini:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ
اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. ar Rum: 30)
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ
ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا
كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. al A’rof: 172)
Kedua ayat di
atas sangat jelas menegaskan bahwa percaya kepada Tuhan adalah fitrah, sudah
ada bahkan sejak manusia hendak diciptakan. Namun yang menarik adalah hakikat
dari fitrah itu sendiri, menurut Dr. Nashruddin Syarif, fitrah yang dimaksudkan
di sini adalah tauhid; yakni penegasan bahwa manusia secara alami percaya
kepada satu Tuhan, dan Tuhan tersebut adalah Alloh swt. Ini tentu berbeda
dengan teori keagamaan lainnya, di mana al Quran tidak membenarkan kepercayaan
kepada Tuhan sebagai sesuatu yang manusiawi dan kepercayaan kepada sembarang
Tuhan. Artinya, dalam agama Islam orang yang percaya kepada Tuhan selain Alloh
dikategorikan melenceng dari fitrah. [6]
Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw berikut ini.
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ...
Setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah, kedua orang tua nya lah yang menjadikannya Yahudi, Nashroni
atau Majusi... (Muttafaq alaih)
Selanjutnya, konsep
Islam tentang Tuhan sangat unik dan khas, karena al-Quran sebagai kitab suci
umat Islam menyebut secara jelas nama Tuhan yaitu الله. Kata الله
tidak boleh diucapkan sembarangan, harus sesuai dengan apa yang dicontohkan
oleh Rasulullah saw yakni “Allah”. Jadi, umat Islam seluruh dunia dari dulu
hingga kini dan sampai hari kiamat tidak berbeda pndapat dan sepakat bahwa nama
Tuhan mereka adalah “Allah”. Dengan demikian nama “Allah” ini bersifat final
dan otentik, karena umat Islam menyebutnya dengan lafal yang sesuai dengan apa
yang ada dalam al-Quran dan langsung diajarkan oleh Rasulullah saw dan bukan
dengan melakukan ‘spekulasi filosofis’ seperti yang terjadi atau dilakukan
dalam agama lain.[7]
Dalam konsepsi
Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang
memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun
sudah dijelaskan dalam al-Quran, tegasnya Tuhan—Alloh—sendiri yang
memperkenalkan dirinya sehingga tidak memberi kesempatan kepada terjadinya
spekulasi akal.[8]
Di
dalam al Quran, Alloh Swt berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ...
Maka ketahuilah,
bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah... (QS. Muhammad:
19)
Makna kalimat “Ilah” dalam ayat
di atas, menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah adalah Yang disembah serta
ditaati, ilah adalah ma’luh (tempat berlindung), dan ma’luh
adalah yang berhak untuk disembah.[9] Sedang menurut al Zamakhsyari, Ilah adalah ismul jinsi (nama
jenis); seperti kalimat kaki atau kuda, yaitu setiap yang disembah baik itu yang
hak atau pun batil, kemudian dikalahkan atau disingkirkan oleh sembahan yang
hak.[10] Jadi makna dari kalimat “Laa ilaaha illa-Alloh” adalah tiada
sembahan yang disembah dengan hak kecuali Alloh. Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh
menegaskannya dengan kalimat “Laa Ma’buda bi haqqin illa-Alloh”, artinya tiada
Tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Alloh.[11]
Dari konsep ini, Islam tidak
membenarkan konsep-konsep ketuhanan lain yang mengakui tuhan lebih dari satu,
juga tidak membenarkan konsep ketuhanan yang mengatakan Alloh mempunyai istri
dan anak, Tuhan orang Islam jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak
dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (QS.
al-Ikhlas: 1-4). Malah dengan tegas orang yang menyebut bahwa Alloh mempunyai
anak seperti Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair anak Alloh dan Kristen yang
mengatakan bahwa Nabi Isa adalah Alloh sebagai KAFIR.[12]
Konsep ketuhanan dalam Islam memang tidak mentolelir kemusyrikan (menyekutukan Tuhan—Alloh--dengan
selain-Nya)
Dalam
khazanah Islam, ada pembahasan mengenai konsep Tuhan yang disebut dengan ilmu
kalam. Dalam ilmu ini Tuhan dikonsepsikan sebagai yang secara Zat tidak bisa
dikenal karena ia berbeda dengan apapun. Maka tentang hal ini tidak ada kata
apapun yang mampu mendeskripsikan-Nya karena apapun yang kita deskripsikan pasti
tak kan sama dengan-Nya. Pada level ini Tuhan tidak bisa dikatakan memiliki
sifat apapun, tidak ada sifat apapun yang bisa dinyatakan positif, bahkan tidak
pula sifat wujud. Oleh sebab itu, maka sifat-sifat ALloh kemudian ditolak.
Kelompok yang berpendapat seperti ini antara lain Jahmiyah, Mu’athilah, Mu’tazilah,
dan sebagian besar filosof seperti Ibn Sina.[13]
Seorang
ulama bernama Ibn Arobi memilih untuk menggabungkan pendapat para ahli kalam
dan para ulama ahli tauhid--yang dapat diwakili oleh Ibn Taimiyyah atau al
Ghazali--, dengan memahami konsep Tuhan di atas seperti berikut. Menurut Ibn
Arobi, pendapat para ahli kalam benar jika Tuhan ditinjau dari segi Zatnya
saja. Tapi menurutnya Tuhan juga memiliki aspek lain yaitu sifat, sehingga
sifat-sifat Alloh seperti hidup, melihat, dan sebagainya adalah benar. Jadi,
baik pandangan para ahli kalam atau pun para ulama lain semisal al Ghazali
adalah sama benarnya.[14]
Pandangan
Ibn ‘Arobi ini tak lepas dari kritikan. Menurut Ibn Taimiyyah, Konsep Tuhan
yang diajarkan oleh al Quran, Hadits, dan kemudian diamalkan oleh para sahabat
dan tabi’in itu juga mengajarkan konsep Tuhan dalam asma wa shifat (nama
dan sifat). Artinya, nama dan sifat Alloh Swt tidak dapat dipisahkan, nama apa
saja yang Alloh sebutkan; termasuk Alloh sebagai zat, dan sifat apa yang Alloh
sebutkan mutlak harus diimani.[15]
Jadi, menurut pandangan ini, pendapat Ibn ‘Arobi adalaah keliru.
[1]
Karen Amstrong, SEJARAH TUHAN: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-orang
Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4.000 Tahun, Bandung, Penerbit Mizan,
cet. 6, thn. 2002, hal. 27 (alih bahasa: Zaimul Am).
[2]
Ibid, hal. 28
[3][3]
Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal: Panduan Islamic Worldview
untuk Para Aktivis Dakwah, Bandung, Persis Press, cet. 3, thn. 2013, hal.
82.
[4]
Dr. Adian Husaini, Islam Agama Wahyu: Bukan Agama Budaya Dan Sejarah,
Jakarta, INSIST, cetakan pertama, thn. 2011 M, hal. 11.
[5]
Poin pertama sampai keempat disarikan dari buku Dr. Adian Husaini, Islam
Agama Wahyu: Bukan Agama Budaya Dan Sejarah, hal. 12-47.
[6]
Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal: Panduan Islamic Worldview
untuk Para Aktivis Dakwah, hal. 88
[7]Dr.
Adian Husaini, Islam Agama Wahyu: Bukan Agama Budaya Dan Sejarah, hal.
18
[8]
Ibid.
[9]
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fath al Majid: Syarah Kitab al Tauhid,
Kairo, Dar al Ghad al Jadid, cetakan pertama, thn. 2007 M/1426 H, hal. 48-49.
[10]
Ibid, hal. 48.
[11]
Ibid, hal. 47.
[12]QS.
al Maidah: 17.
[13]
Nashruddin Syarif, Menangkal Virus Islam Liberal: Panduan Islamic Worldview
untuk Para Aktivis Dakwah, hal. 100
[14]
Ibid, hal. 101
[15]
Ibid. Mengutip dari Muhammad bin Shalih al Utsaimin, al Qaul al Mufid Wa Fath
al Majid fi Syarh Kitab al Tauhid, (editor: ‘Adil ibn Sa’ad), Kairo, Dar Ibn al
Haitsam, 2003, hal. 17-20.
0 komentar:
Posting Komentar